Tuesday

KEMATIAN TERSENYUM PADAKU

Kematian datang padaku dalam bentuk wanita cantik, nyaris seperti bidadari dalam imajinasiku. kulitnya putih dan ramping. lekuknya sempurna. rambut hitamnya tergerai sampai melewati punggungnya. kulitnya yang seputih susu tampak menyolok dibalik baju hitamnya. Sayangnya, ada sesuatu yang kurasa mengerikan padanya. Entah sorot matanya yang cerdas atau kedatangannya yang tiba-tiba di sisi tempat tidurku.

awalnya aku tak tahu siapa dia, yang datang saat aku tergolek kelelahan di ranjangku. rasa dingin yang manis menjalari tulang punggungku saat senyumannya yang seceria bunga mekar menyapa.
"siapa kamu?" tanyaku curiga.
dan memang aku curiga padanya, curiga seperti yang diajarkan oleh masyarakat, dan keluargaku. curiga pada segala sesuatu yang asing dan tak kumengerti. jelasnya aku tak mengerti, kenapa seorang gadis sejelita itu menegurku dengan senyuman terlebih dahulu.

“kau tanya siapa aku?” ia kembali tersenyum. Aku mencoba bangkit tapi sepertinya kelelahan mengunci tubuhku di tempat tidur. “kamu tahu pasti siapa aku,” katanya.

sejenak aku terpesona pada senyumnya, sebelum rasa dingin menjalari tengkuk ku. Logikaku berkata, aku ketakutan. Tapi anehnya dia juga sangat mempesona.

"aku punya banyak nama di berbagai belahan dunia. El Maut, Mara, Shiva yang lelaki, Mot, Samhain, Durgamahisasuramardhini atau cukup Durga, Yama, Sunala yang berwajah kucing, atau dewi gemulai Jiu Tian yang menghubungkan akhirat dan kematian. kau boleh pilih.."

"wah, .." kata-kataku berikutnya tertelan dalam bisikannya – sang maut -

"tak usah takut padaku," katanya sambil terus mendekatiku.
-sialan, bagaimana aku tak takut - jaraknya hanya tinggal semeter dariku, dan aku belum juga bisa bangkit. " sialan." aku tahu dia melihat pucatnya kulit wajahku.
lebih sialan lagi, kelihatannya dia menikmati ketakutanku.

bagaimana tidak panik. aku tehu tengah berhadapan dengan maut, secara langsung.
Aku mngerahkan seluruh tenaga untuk bangkit dan berusaha menegakkan tubuh.
Mendadak lidahku tak lagi kelu..

"bagaimana mungkin aku takut pada gadis secantik kamu..", kataku.
"baguslah.."
"jadi sekarang apa? kamu mau mengajak saya menghadap tuhan?" kutatap matanya yang bening. indah dan teduh.
"kalau benar, maka kamu seharusnya bersyukur bisa bertemu langsung."
"wah, terserah saja, asal sama kamu aku mau saja." Saat itu rasa ingin tahu ku mengalahkan takutku. Aku tersenyum.. benar aku tersenyum!.
luar biasa..! kalau aku ceritakan ini tak akan ada orang yang percaya. saat maut datang padaku, aku malah merayunya.

Kematian memandangku, dengan tatapan mata berusia ribuan tahun.
dalam dan penuh pengertian. lalu muncul lagi senyumannya yang senilai seribu keping emas itu.
ia berkata dengan suara lembut dan ramah. dan mulai menceritakan kisah tentang dunia-dunia yang belum kutemui. wajahnya yang tirus menopang matanya yang lebar. mata itu memandangiku lekat. keindahan yang tergambar dalam pendaran lembut cahaya yang menyelimutinya membuatku merasa santai. tak lupa ia meminta aku tak terlalu tegang.

"dunia hakiki kemana kita semua akan pergi, amat indah, maka jangan merasa terpaksa. ikutlah dengan tenang." katanya. bibirnya yang ranum memaksa aku percaya pada kata-katanya.

diletakkannya kedua tangannya didadaku. telapak itu terasa menembus pori-poriku dan menyebar seolah menyentuh seluruh bagian tubuhku (atau sesuatu yang terasa dibalik tubuh fanaku ini). nyaman, lembut, dan seperti menggenggam kesejatianku.

aku terpesona pada keindahannya yang bukan berasal dari dunia ini. tubuhku terasa sejuk dan nyaman dalam sentuhannya. kalau kemtian begitu indah, kalau maut begitu cantik, kenapa tiada yang merayakan kematian dengan nyanyian cinta?
kenapa begitu banyak orang takut pada maut?
ketika aku sampaikan keherananku, kenapa banyak orang membencinya ia hanya tersenyum.

"benar..,aku tidak bohong...," kataku. " selama ini kamu selalu digambarkan sebagai tokoh kejam bermantel, bahkan membawa sabit panjang menyeramkan"
"yang jelas kau bisa lihat, itu bukan aku." kematian tersenyum padaku.
"lantas kenapa mereka menggambarkanmu seperti itu? tengkorak yang berjubah?" tanyaku.

mendadak kematian melepaskan tangannya dari dadaku. rasa sejuk mendadak lenyap. kehangatan mulai mengalir kembali di balik kulitku. ia mengangkat pandangannya dari wajahku. matanya menerawang.

"terkadang memang aku memakai jubah saat mendatangi manusia. aku takut memperlihatkan kesedihanku pada mereka". katanya sambil mengibaskan rambut panjangnya. aku melongo, sumpah, kalau dia seorang manusia pasti bisa menjadi model iklan shampoo.

"ke..ke..napa kau sedih?"
"aku tahu kemana mereka akan pergi," jawabnya.

kematian menundukkan kepalanya. matanya membayangkan kesedihan yang sangat dalam. tangannya menggenggam pinggiran tempat tidurku. untuk beberapa kejap aku merasa melihat kilatan kengerian terbayang diwajahnya. bulu kudukku merinding membayangkan kekejaman yang mampu membuat maut ketakutan.

"lantas kenapa orang-orang bilang kau membawa sabit menyeramkan itu?" tanyaku mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya.
mendadak kematian tersenyum girang seperti anak-anak. matanya kembali bercahaya. tiba-tiba ia mengangkat tangannya, kegelapan malam seperti tersibak untuk beberapa detik. jalur berkilau muncul dari tangannya yang terangkat. kilauan itu melengkung, terang, seperti sabit cahaya. tangannya yang putih tampak semakin pucat. pucat dan ramping bagai tengkorak.

kematian tersenyum nakal, "terkadang aku melakukan itu, beberapa manusia bisa melihatku, kau tahu? mereka punya kemampuan untuk itu" katanya "ketakutan biasanya bisa mengusir mereka".
wajahnya tampak cerah dihiasi senyum lebar. aku terpesona.
" seperti kamu tahu, aku tidak terlalu suka bekerja dibawah spotlight," sang maut menundukkan kepala, sambil mengulum senyuman, seperti anak kecil yang malu saat ketahuan berbuat salah.
"begitu..."

kami terdiam beberapa lama, lalu kematian kembali meletakkan tangannya di dadaku. kembali rasa sejuk merambatiku. aku bisa merasakan syaraf-syaraf di sekujur kulitku mulai mengerut. rasa mulai lenyap dari ujung-ujung jariku. rasanya menyenangkan dan menentramkan. aku sangat mengantuk, tapi kupaksakan untuk bertahan.

"apakah benar saat nyawa dicabut sangat sakit?"
"nyawa," tangan kirinya bergeser dan menggenggam tanganku. "sebenarnya apa sih nyawa itu? kami berurusan dengan ruh. kesejatianmu. jati dirimu. dirimu sesungguhnya.." ia berhenti sejenak.
"terkadang ada orang-orang yang masih merasa belum selesai di dunia. mereka masih punya ambisi, harapan, atau kecintaan pada dunia yang lebih hebat dari kerinduan menemukan hidup yang sesungguhnya."

aku bergidik. rasa sejuk itu mulai mematikan ujung-ujung kakiku.

"saat aku meminta mereka pasrah dan santai mereka malah memegang erat selimut fana, yang sering kau sebut tubuh ini. karena itu mereka kesakitan saat aku menaikkan jiwa mereka." rasa sejuk itu mulai membuatku tak sadar. nyaman sekali rasanya.
"bagi orang-orang yang rela dan rindu pada akhirat, nyawa mereka praktis melepaskan dirinya tanpa perlu dipaksa. apalagi kalau mereka merasa bekalnya sudah cukup. yang model begitu hanya akan merasa seperti membuka baju."

dalam kesenyapan yang memabukkan aku mulai tenggelam dalam rasa sejuk yang mengalir dari ujung-ujung jarinya. Perlahan sekujur pori-poriku menciut. otot dan syarafku mulai mengelupas dari aku. Sesaat aku tersadar seperti sedang melepaskan diri dari kulitku, bukan…. bukan… lebih tepatnya memisahkan diri dari dari seluruh kesatuan organik yang aku biasa sebut sebagai tubuhku.

"maukah kau meninggalkan tubuhmu, demi panggilan penguasa seluruh raja di dunia?"

kupandangi matanya yang kelam seperti telaga. aku merasa tersesat. sesuatu dalam hatiku berontak. tiba-tiba syarafku tidak lagi mengelupas secara sukarela.
setiap serabutnya seolah menempel erat. aku merasa seolah-olah mereka melekat seperti plester pada diriku dan setiap kali tercabut, seiris kulitku ikut serta.
Aku mulai kesakitan. perlahan aku merasa keseluruhan diriku bergerak menuju tenggorokanku. setiap inchi ia bergeser, serasa seluruh syarafku dicabik dari tubuh ini. dengan sisa-sisa nafasku, aku menjerit (atau mungkin hanya berpikir bahwa aku menjerit, karena eksistensiku saat itu bukan lagi didunia fana, dimana jeritan bisa didengar telinga). aku berteriak sekeras-kerasnya, yang mungkin hanya dapat didengar hati.

" wahai,..aku rindu pada sang pemilik cinta, tapi kenapa sakit ini tak tertahankan.."

" jangan dilawan anak manusia " kematian mendekatkan wajahnya ke wajahku. nafasnya harum, senyumnya memabukkan. seketika aku merasa santai, dan yang terngiang hanya seruan untuk menemui penguasaku. tubuhku tak lagi terasa sakit. syarafku membeku kembali. dan terngiang sebuah ucapan yang serasa menggema di kepalaku.

"labaik, allahuma labaik...", seruan itu berulang-ulang bergema di dalam kesadaranku, "labaika allahuma labaik ".

aku serasa meluncur keluar dari diriku. perlahan tanpa rasa sakit. hanya kelegaan luar biasa. aku menggelosor di tenggorokanku yang berubah seolah lorong panjang dengan ujung cahaya. aku mendapati diriku merindukan celah cahaya itu, ingin sekali. bagaikan syahwat yang kelewat besar.

" kamu sudah merasakannya, anak manusia?"
tiba-tiba aku seperti tersedot kembali kedalam perutku. lorong itu meluncur menjauhiku, dan cahaya diujungnya berangsur lenyap. tepat saat cahaya itu sepenuhnya lenyap aku tersadar dengan mata nyalang, dan dihadapanku kematian terlihat begitu jelas.
ia melepaskan sentuhan tangannya. senyum masih menghiasi bibirnya yang berwarna seperti tembaga. aku terengah-engah oleh sensasi yang kurasakan. setengah kesal aku memandangnya. pasti tatapanku penuh pertanyaan karena kematian tertawa kecil sambil menggeleng.
ia berkata lembut." belum saatmu..bahkan aku pun tak mampu mencabut nyawa seseorang tanpa izin sang penguasa"

" Apa itu tadi?"
" hanya sebuah pelajaran", kematian mundur menjauhiku. jarak kami seolah tak berubah, tapi dia jelas menjauhiku. " tidak mampu aku mencabut nyawa yang belum ditakdirkan mati"

" pernahkah kau keliru?"
" tidak," kematian melayang beberapa senti dari tanah, wajahnya masih mengarah padaku, tapi matanya bergerak-gerak tak beratur, seperti berpikir. "aku diawasi tuanku yang tak pernah salah"
kematian menoleh ke kanan ke kiri seperti gelisah. mendadak aku khawatir ia pergi.

" bagaimana caranya bisa mencabut nyawa beberapa orang di berbagai belahan benua sekaligus? " aku paksa terus bicara agar ia menemaniku. aku khawatir ia meninggalkanku.
" apa kamu bisa berada di beberapa tempat sekaligus? atau bisa membelah diri? atau banyak yang sejenis kamu?"
maut menelengkan kepala dan meringis. "tidak, tidak, dan tidak. aku tak mampu, mungkin hanya penguasaku yang mampu. tapi dengan kekuasaannya tak perlu lagi begitu."

" lantas bagaimana kalau ada yang mati bersamaan di beberapa tempat sekaligus?"
" tidak pernah ada orang yang mati bersamaan, kecuali saat berada di tempat yang sama, dan karena kejadian yang sama, seperti kecelakaan atau ledakan bom"

aku pasti kelihatan tidak mengerti, karena kematian tertawa dan lanjut menjelaskan.
" lantas..?"
" ya, setiap kematian pasti berbeda waktu, walau mungkin terlalu singkat untuk kalian rasakan.."
" berbeda waktu? masak? "
" perbedaannya mungkin saja hanya 0,000 sekian detik" kematian menjelaskan seperti guru menerangkan pada muridnya.
" apakah kamu punya kecepatan seperti cahaya..? "
" hahaha,..bisa dibilang begitu..aku memang lahir dari cahaya.." kematian terbahak " aku juga tak terikat dengan dimensi yang disebut : waktu.."

aku kehabisan bahan pembicaraan. akhirnya aku hanya dapat menatapnya dalam diam. tanganku gatal-gatal ingin membelai rambut hitamnya yang meliuk seolah tertiup angin. aku mengawasinya. kami terdiam selama beberapa saat. malam itu hening. hanya jam di dinding berdetak perlahan menuju jam 3 pagi. kematian tersenyum padaku.
mendadak cahaya berpendar yang melingkupinya bersinar makin cemerlang, sampai akhirnya tak mampu lagi aku menatapnya.

" aku harus pergi "
" kemana? kapan kau datang lagi?" mataku setengah terpejam, berusaha melihat sosoknya untuk terakhir kali.
" aku akan datang lagi, aku pasti akan datang selama kau bernafas,"
mendadak cahaya itu menghilang. aku menemukan diriku terduduk di ranjang, menatap nyalang kearah dinding yang sekarang tak lagi terang. lampuku mati. ruangan gelap.
entah berapa lama aku termenung, sampai sebuah suara yang mengalun indah menerobos telingaku. azan subuh telah berkumandang.

" Allahhu Akbar, Allahu Akbar..la Ilaha Ilallah.."

darahku seakan kembali mengalir. panca inderaku kembali bekerja.
Subhanallah. suara langkah orang menuju surau didekat rumahku segera terdengar. suaranya seperti jawaban pada panggilan Sang Pemilik Dunia.
Aku mendengar kokok ayam jago yang berdzikir;
" labaik, Allahuma Labaik..Aku datang ya Allah, menyambut seruanmu..."
Saat itu aku tersadar. aku sudah kehilangan sang maut, yang pergi tanpa terlihat.

Tiba-tiba aku mendapati diriku merindukannya.
merindukan kematian.