MENCARI RASA TAKUT
Entah kenapa, aku kehilangan rasa takutku.
tak ada lagi yang membuatku bergidik, meningkatkan tekanan darah dan memompa adrenalinku sekaligus. bahkan rasanya bulu kudukku sudah lupa caranya meremang.
aku kehilangan rasa takutku. sejak itu dunia rasanya membosankan.
Guruku, yang banyak menasehatiku tentang kehidupan, mengatakan agar aku mencari lagi rasa takutku. Tanpa rasa takut, manusia tak akan berhasil melepaskan diri dari dunia ini; begitu nasehatnya.
Seperti biasa aku mengikuti nasehatnya, walaupun kali ini menurutku alasannya tak masuk akal. Tujuanku bukan meninggalkan dunia ini, tujuanku adalah mengerti dunia ini. Ibaratnya dunia ini adalah petunjuk dalam bentuk teka teki yang harus diselesaikan,.
Maka aku memulai perjalananku mencari tempat tempat keramat, daerah daerah paling mengerikan, dan peristiwa peristiwa paling menakutkan. Aku menyeret tubuhku ke puncak puncak tertinggi dunia, menyelam ke titik titik terdalam bumi ini. Aku paksakan bertarung melawan banteng dan harimau, berenang bersama hiu dan barakuda. Aku terluka, patah, parah dan bernanah, tapi aku tak pernah ketakutan.
Dan saat tubuhku kelelahan dan rasa frustasiku memuncak, aku akan mengundurkan diri ke dalam duniaku. Dunia kegelapan yang menentramkan.
Saat saat aku nyaris putus asa, aku akan merenung. Aku akan keluar di malam yang paling gelap, berjalan ke taman taman berpohon besar dan sepi. Kesunyian dan kegelapan selalu menentramkan aku seperti obat tidur dosis tinggi. Aku selalu merasa terlindung dalam kegelapan dan keheningan.
Kesukaanku pada gelap dan sunyi itu pula yang suatu hari membuatku mengunjungi hutan gunung Rinjani. Aku naik sampai menemukan sebuah tanah luas berumput, sepertinya taman alamiah yang diambil alih oleh manusia. Suasana nya sunyi, aku memang tak mengharapkan ada siapapun di tempat ini pada pukul 2 dini hari. Tapi aku ternyata tidak sendirian.
Aku melihat sesosok tubuh besar membungkuk di sebuah bangku taman, dipojok tergelap dari taman. Dia duduk merapat ke sebuah pohon besar sehingga hanya dari sudut tertentu ia dapat terlihat.
Itu ternyata setan.
Aku yakin sekali itu setan. Sosok jin yang biasa dipakai menakut nakuti anak anak. Termasuk Aku .. begitu ketakutannya aku pada setan sampai aku tak berani menengok keluar jendela saat malam tiba. Akan kuselimuti wajahku rapat rapat agar tak ada seberkas cahaya memantul di korneaku dan membentuk bayangan bayangan mengerikan didalamnya. Bayangan yang aku persepsikan sebagai setan, hantu, jin, iblis dan sebangsanya.
Terus terang saat itu aku takut melihat setan..
Dan karenanya aku benci cahaya cahaya redup pada malam hari.
Bukan aku takut cahaya, tidak!!.. Aku sangat suka pada matahari yang bersinar di siang hari, tapi menurutku malam hari memang ditakdirkan gelap. Cahaya redup hanya membuat bayang bayang aneh dan mengerikan. Gelap lebih baik padaku, ia melindungiku dari penampakan apapun. Sebab dalam gelap mataku tak melihat, tak perlu melihat…
Sampai kemudian aku tahu, setan hanya mahluk yang lemah. Ia dibayangi rasa rendah diri yang membuatnya merasa perlu menghina mahluk lain. Ia dihinggapi rasa iri karena merasa tidak mampu menyaingi nenek moyang manusia, Nabi Adam as. tercinta. Aku baru sadar bahwa seharusnya aku kasihan padanya, bukan merasa takut.
Sekilas saja aku tahu yang duduk di bangku taman itu adalah sang setan sendiri. Aku tak tahu bagaimana aku tahu, pokoknya aku memang tahu bahwa ia itu setan.
Mahluk itu tampak melamun.
Aku memutuskan untuk duduk disebelahnya. Bangku taman itu berbunyi saat kududuki, tapi sepertinya tak mengganggu mahluk kelam itu dari lamunannya. Aku tak mau mengganggunya, kami sesama mahluk malam tak sepantasnya saling menggangu.
Perlahan terdengar keluhan – atau lebih mirip lenguhan – kecewa dari sebelahku.
Aku menoleh pada setan di sebelahku. Wajahnya yang biasanya bercahaya dan menarik hati, kini muram. Setan itu bahkan tak lagi mendongakkan kepalanya.
“aku tak mampu lagi, terlalu berat bagiku... rasanya kebaikan dalam hatiku terkikis”
“hei, kamu setan.. seharusnya tak ada kebaikan dalam hatimu”
“ah, kau termakan propaganda lama.
Aku ini mahluk Tuhan, pastinya diciptakan dengan kebaikan.
Tuhan maha baik, bagaimana mungkin kau percaya tak ada kebaikan dalam hatiku, ciptaannya?. Jutaan tahun aku bertahan di surga, bergaul akrab dengan para malaikat.. kau kira itu mungkin terjadi tanpa secuil kebaikan dalam hatiku? ”
Ia mengangkat wajahnya. Kulit mukanya yang kemerahan tampak berkerut, jelas ia menahan marah
“ itu kan sebelum kau dengki pada Adam”
“ itu lain soal..”
Setan mengangkat tubuhnya. Saat aku mendongak memandangnya baru aku sadar betapa tinggi tubuhnya. Proporsinya memang tak serupa dengan manusia biasa, kakinya terlalu kekar dan pendek untuk tubuh rampingnya yang anggun. Kepalanya berukuran terlalu besar, mungkin karena halo merah jingga yang mengelilingi keningnya.
Aneh dan sedikit mengerikan, tapi ada semacam aura berpendar yang mengelilingi tubuhnya, membuatnya terasa hangat dan akrab. Cahaya itu seperti menarik narik aku untuk memeluknya.
Setan mengebutkan jubahnya dan menarik nafas panjang. Ia membungkus tubuhnya dengan jubah itu. Kini ia tampak anggun bercahaya.
“sudah kuduga kamu tak akan mengerti, itu sudah kuduga..”
Perlahan tubuhnya naik dan bercahaya lebih terang. Perlahan ia mengabur, seolah molekul molekul tubuhnya menghablur kedalam sebuah inti berwarna merah dalam dirinya. Sebelum ia sepenuhnya menghilang dalam nyala berpendar itu, aku sempat mendengarkan suaranya yang parau. Seperti suara seseorang yang kecewa, tapi juga menebarkan aura kesombongan yang luar biasa..
“Wajar saja kalau kau tak mengerti, kau Cuma manusia.”
Kembali aku sendirian dalam gelap. Yah, gelap selalu jadi temanku. Melewati hari hariku dalam kegelapan yang biasanya sunyi. Malam hari menjadi taman bermainku, kilauan bintang yang membari cahaya samar samar sekedar cukup untukku melihat, telah menjadi perhiasan hari hariku.
Kembali aku merenung di bangku taman itu. Di langit yang maha luas tampak cahaya nyaris bulat sempurna. Ya hari ini purnama ternyata. Kegelapan yang melindungiku tertebas sayap sayap perak yang dipantulkan sang rembulan penuh itu.
Dulu aku takut sekali pada bulan, terutama yang purnama. Sang luna seperti mata bercahaya yang terus mengikutiku. Memandangiku. Menghitung segala kesalahanku dan menegaskan semua perbuatanku. Mata itu juga mengusir kegelapan pelindungku, membuatku merasa telanjang.
Ya dulu aku takut pada rembulan. Bagiku dia tidak indah. Bulan adalah anomali, cahaya yang muncul ditengah malam, yang seharusnya ditakdirkan gulita. Kini aku tak lagi takut pada rembulan, sejak aku tahu ia tak sengaja mengawasiku. Ia hanya sebongkah asteroid raksasa yang terjerat gravitasi bumi, dan dipaksa menjadi satelitnya.
Ia tak berkuasa. Ia malahan hanya tawanan yang dipaksa mengikuti gerakan tuannya. Ia terpenjara, sama seperti aku. Kini rembulan adalah sahabat senasibku, yang hanya bisa bertukar duka lewat cahaya lembutnya.
Cukup lama aku terduduk disana, memikirkan pertemuanku dengan setan. Aku menyesal tak bertanya padanya dimana mencari kengerian dan ketakutan. Mahluk dikutuk seperti dia tentunya pernah pergi ke berbagai tempat yang mengerikan. Harusnya aku Tanya dia..
Sesalku tak mampu memanggilnya kembali.
64 jam kemudian aku berada di sebuah desa kecil di Sulawesi. Aku menyaksikan evakuasi dan penyelamatan jenazah tiga orang remaja yang di tebas putus lehernya. Aku ada ditengah kerumunan yang menghujat sang pembunuh yang belum tertangkap. Kepala polisi wilayah tampak menghadiri acara itu. kamera Tv menjadikannya seperti pesta.. pesta para pemakan bangkai.
“ binatang mereka..”
“ bukan binatang lagi, ini setan punya tindakan..” gerutuan itu membuatku menoleh. Aku jadi ingin tahu bagaimana tanggapan setan kalau tahu ia disejajarkan –bahkan di tingkatan lebih rendah- dengan binatang.
Tiba-tiba beberapa orang mulai mengamuk. mereka menerjang masuk ke POS polisi itu sambil meneriakan sesuatu yang terdengar seperti; kepala polisi harus bertanggungjawab, aparat pasti yang berbuat, darah bayar darah dan sejenisnya. orang orang mulai menyingkir dari lapangan itu, membuat beberapa orang itu laluasa merangsek ke arah polisi. mereka jelas terlatih. hanya 4 orang mereka bisa menahan belasan polis, membuat mereka sibuk dan kocar kacir. Sang kepala polisi dijaga ketat
oleh belasan polisi bersenjata.sementara di bagian belakang, 2 orang asing lainnya memanasi masyarakat sehingga mereka kembali maju. masyarakat pun mulai beranjak mendekat..
tiba-tiba sebilah parang teracung, dan seorang polisi muda tersungkur dengan perut robek. suasana langsung berubah, serentak para polisi membidikan senapan mereka. dan menyalak keras.. dua orang terbanting tapi bukan para penyerbu. dua orang yang diterjang timah panas adalah massa yang terlanjur maju. seorang kameramen TV terjungkal disambar parang. teman temannya tidak menolong tapi malah berebut mengabadikan. teriakan panik diselingi letusan senjata. kekacauan tak terhindarkan.
jelas para penyerbu itu terlatih. mereka menyusup diantara masyarakat yang bergerak maju, sambil menjadikan mereka tameng terhadap senapan polisi yang menyalak keras. bergerak mundur melarikan diri, sementara para aparat terkurung massa yang panik.
para penyerbu lari kearahku. parang mereka teracung, mengusir massa disekitarnya. massa yang takut pada kilauan parang mereka, digiring seperti bebek menutupi pelarian mereka. tapi aku tak takut pada parang mereka. dan aku menolak untuk ikut terseret arus massa yang berlarian panik. maka hanya dalam hitungan detik, kami berhadapan.
Penyerang terdepan, mencoba membuatku takut dengan mengibaskan parangnya. tindakan bodoh.. dengan mengibaskan parang tak beraturan dia membuat lubang pada kewaspadaannya sekaligus menutupi gerakan kawan dibelakangnya. aku hanya menggeser kaki mengikuti arah parangnya, mudah saja mengikuti gerakannya kalau kita tak takut pada parang besar ditangannya. kawan dibelakangnya bereaksi dan maju ke arahku, tapi terlambat. dengan satu sentakan aku pukul pergelangan tangan penyerbu pertama, parangnya terlepas ke sebelah kakiku... sebelum dia bisa mengembalikan keseimbangan, sebuah dorongan ke bagian samping lutut kirinya membuatnya roboh ke belakang, menjatuhi temannya yang tengah mencoba menyabetkan parangnya.
penyerbu kedua mencoba menahan tenaganya, tapi parang ditangannya terlanjur menyobek lengan kawannya. darah pun muncrat.. penyerbu pertama mengerang kesakitan, dan kawannya sejenak terpaku. hanya sejenak, tapi lebih dari cukup. bagian perutnya terlihat, hanya dengan sebuah tendangan ringan dengan ujung kaki di ulu hatinya, ia kehilangan kesadaran. Tubuhnya melengkung saat suply oksigen ke otaknya terhenti...
Aku berdiri menyaksikan kekacauan di sekitarku. penyerbu yang lain berhasil lari kearah yang berseberangan. mereka masih sempat melemparkan pandangan mengancam padaku sebelum lari. Aku tak bereaksi, dua tubuh di kakiku mulai bergerak tapi aku terlalu malas menanggapinya. kerusuhan ini membuatku kecewa pada kondisi negeriku.
Dua perusuh itu berhasil dibekuk polisi dan kepala polisi wilayah langsung bergaya di depan belasan kamera TV yang bergentayangan. Aku tak peduli. Aku hanya sedih melihat jenazah 3 remaja yang tewas, dan para korban lain yang masih tergeletak dan dirawat. Buat apa mereka terluka? buat apa mereka mati?
beberapa menit aku termenung memandangi mereka, sebelum asisten kepala polisi mengatakan aku ditunggu di dalam oleh bapak, begitu dia membahasakan atasannya. Aku merasa tak enak dengan kesopanannya akhirnya masuk ke dalam.
kepala polisi itu mengajakku masuk ke ruangannya. dengan bangga dia menunjukkan kasus kasus besar yang dia tangani.
dengan bangga dia bicara;
" ini adalah keberhasilan besar, kita bisa menangkap profokator yang meresahkan wilayah ini. ini juga bukti dari kesigapan anak buah saya.."
Aku hanya mengiya. malas membantahnya. sang ajudan menunduk ketika beradu pandang denganku.
" satu bukti lagi bahwa kita sendiri" jarinya menunjuk dadanya yang diganduli berbagai lencana.
" kita mampu mengamankan negara kita..
terima kasih atas bantuan anda. kalau saja semua warga negara mau memberi bantuan kecil seperti anda, saya yakin kita semua pasti bisa membereskan masalah bangsa kita."
kemudian ia berbicara tentang berbagai prestasi penangkapannya. dengan sigap sang ajudan mengeluarkan foto foto pembuktian dari dalam tasnya..
"nah.. ini kasus anak perempuan yang membunuh ayahnya sendiri setelah dihasut pacarnya.. ternyata sang pacar diam diam adalah saingan bisnis ayahnya.. hahaha.. yang lucu, setelah ABG itu dipenjara, sang pacar malah menikah dengan ibunya.." kepala polisi itu terpingkal, sementara sang ajudan tersenyum lebar. aku sendiri gagal melihat kelucuan peristiwa itu.
" ini kasus yang belum terpecahkan.. seorang sekretaris anggota DPR terhormat mati mendadak.. kepalanya dibenamkan ke ember.. posisinya nungging...telanjang bulat dan disodomi . kalau saja tidak ada pelarangan penyelidikan saya pasti sudah tangkap pelakunya.."
tangan gemuknya berserabutan di udara. wajahnya tampak gusar. saat itu sepertinya ia lebih cocok menjadi pemain drama daripada polisi.
" ini gara-gara ada yang menutupi demi reputasinya.. sialan, reputasi saya kan jadi terganggu kalau ada kasus tak selesai seperti ini.. dasar reputasi tai kucing... hampir semua tahu kelakuan sekertaris itu.. pembunuhnya ya nggak jauh jauh. kalau ada ijin sudah habis dia.."
mendadak seperti tersadar, ia kembali tenang dan menoleh ke arahku. " terima kasih " katanya. "anda boleh pergi"
keluar dari ruangan itu, aku merasa mual. mendadak saja aku muntah-muntah. dengan mata berair dan tenggorokan yang rasanya tak karuan, aku paksakan diri duduk di pinggir jalan setapak di seberang balai pertemuan itu. kelelahan tiba tiba menyapaku akrab. Aku lelah sekali.
" itu namanya mual, dan itulah yang aku rasakan saat kita ketemu kemarin."
Kuangkat kepalaku dan sosok merah berpendar dibalut jubah tebal berdiri di sebelahku.
" itu yang aku rasakan kemarin,
kamu mengerti kan? "
Aku hanya menggeleng. Setan itu tampaknya tak berusaha menyembunyikan dirinya. Tubuh jangkungnya pasti kontras dengan padang ilalang dibelakang kami.
" kamu harusnya mengerti, bahkan jika kamu manusia..
Aku mungkin jahat dan kejam menurut kalian, tapi apa yang bangsa kalian lakukan jauh lebih memuakkan.
kalian yang lemah berani membunuh, menyiksa dan bahkan bangga atasnya.
kalian berani menantang yang Maha Tak Terkalahkan yang telah mengasihi kalian sedemikian besar.
kalian bangsa kerdil yang memuakkan"
Mahluk itu berhenti dan berbalik. warna merah mulai berpendar lagi di dalam dirinya. dia bersiap siap pergi.
" aku tak tahu apa yang dilihat Tuanku saat memilih kalian. Saat mentahbiskan kalian lebih sempurna dari kami..
Aku tak tahu..
Mungkin Dia benar, yah.. Dia tak pernah salah..
kalian bisa melakukan kejahatan lebih sempurna, lebih kejam, lebih tak bermoral. lebih gila lagi kalian melakukannya tanpa menyesal..
Tapi kalian tak mungkin lebih baik dari kami..
mahluk api dan cahaya "
Suaranya masih mendenging saat wujudnya menghilang. Senja semburat mulai muncul, dan aku masih terduduk di rumput. Aku sudah mendengar kecemburuan terbesar setan pada manusia, tapi itu tak membuatku bangga. Aku belum lagi menemukan rasa takutku.
Perutku mendadak kembali bergejolak dan memuntahkan isinya.
dua hari kemudian aku menginjakkan kakiku di sebuah pulau yang keindahan dan pesonanya, membuatnya dijuluki pulau para dewa. ya, aku berkunjung ke Bali.
Bandara Ngurah Rai mendung saat aku tiba, seolah menyambut kembalinya sang anak haram yang tak dikehendaki. Bali yang indah, membawa kenangan buruk bagiku. Aku sangat mencintai pulau kelahiranku ini, seperti aku yakin pulau ini mencintaiku. Tapi cinta yang mengakar diantara kami tak menghalangi pengetahuan; bahwa setiap kali kami bertemu terlalu lama bencana terjadi. paling tidak bencana bagiku.
Cuaca yang memburuk dengan cepat membuat aku berucap syukur saat berhasil tiba di gedung bandara sebelum hujan turun. dan hujan benar benar turun dengan cepat, lebat dan deras. Guntur terus meraung, seperti tengah menyesali kedatanganku.
Aku bergegas menuju gerbang. Supir yang menjemput pasti sudah cemas, pesawat ku delay sampai 2 jam gara gara ramalan badai yang baru tiba ini.
sebuah corolla 95 silver menungguku di pelataran. menerobos hujan deras, aku menyapa Nyoman Tantra yang menyambutku dengan sebuah payung besar berwarna merah kusam.
"Bli, bagaimana kabar?"
"baik, man.. ayo kita jalan man."
pintu mobil berdecit saat Nyoman menutupnya dibelakangku.
Kami menyisir Kuta di bawah rinai hujan. dahan nyiur di pinggir pantai berderak derak, angin membuat ombak tak lagi indah. Senja yang menjelang terlalu cepat dan hujan membuat pantai tampak lengang. di cafe cafe fast food pinggir jalan tampak turis turis asing berteduh hanya mengenakan celana pendek dan bikini. wajah mereka tampak kecewa, tak bisa berjemur hari ini.
"Nyoman, kita ke hotel dulu. setelah itu baru kita ke Bli Angsana"
"ya, Bli.. siap lah"
"Apa kabar istri?"
"Sehat, masih di kampung, Bli.. kemarin minta ketemu mertua"
aku tersenyum mendengar cara Nyoman melafalkan huruf 't'. Khas daerah timur Indonesia.
"Anak mu bagaimana? berarti sudah sekolah sekarang"
"Sudah, Bli.. kelas dua.." Nyoman tersenyum, tangan kirinya sejenak lepas dari stir dan merogoh ke kompartemen di bawah bangku. ia menarik dua lembar foto dari sana dan menyodorkannya padaku.
"ini dia, Bli... Swasana..anakku"
aku ambil foto itu. ternyata foto foto seorang anak dan ibunya. anak yang tampan, berusia kira kira enam atau tujuh tahun sedang digendong ibunya, seorang wanita bali yang cantik, berkulit sawo matang dan bertubuh kukuh tapi sintal. matanya yang bulat besar menatap percaya diri kearahku.. kearah kamera yang memotretnya. senyum lebar anaknya dilengkapi dengan pesona sang ibu. ah, rasa nya waktu jadi cepat berlalu. aku masih ingat ketika Made Darmi, istri Nyoman, melahirkan buah hati mereka ini. Aku masih ingat bermain main saat Swasana balita.
"Tampan anakmu, Man.."
"Seperti bapaknya tentunya.. hahaha" Nyoman melirik ke arahku sambil terbahak. Keriaannya menular padaku, dan kami tertawa beberapa saat.
mendung dan angin badai di luar masih mengamuk saat Nyoman menghentikan mobil di pelataran parkir sebuah hotel. Hotel bintang satu kecil yang jadi langgananku, Jasmine hotel. Sigap Nyoman keluar dan menyeret koper kecil ku turun.
"Bli, pak Hendra sebenarnya minta bli tinggal saja di rumahnya.."
"Ah, nggak enak saya.. jadi nggak bebas, Man."
"iya juga sih.. sayang Darmi masih di buleleng, pulang ke rumah mertua, kangen katanya… kalau tidak kita makan di rumah saya, bli.." Nyoman menyamakan langkah denganku, saat kami bergegas menghindari hujan menuju lobby hotel.
"gampang, nanti lagi kan bisa.."
Nyoman mendaftarkanku ke resepsionis. Dia hapal data diriku. Wajar saja, sudah beberapa kali aku datang ke bali menghadiri undangan bos Nyoman, Hendrajati Anggarwan, dan setiap kali yang melayaniku adalah Nyoman. Ia sudah menganggapku sebagai temannya. teman dari jakarta.
Setelah urusan Check in beres aku naik ke kamarku untuk mencuci muka, Nyoman memilih tetap di Lobby sambil merokok. Dia masih ingat, aku tak keberatan pada perokok selama mereka tak menghembuskan asapnya padaku. Nyoman tahu aku tak suka rokok.
saat aku kembali, aku dapati Nyoman tengah membaca koran. Aku jatuhkan oleh olehku dari jakarta ke pangkuannya, sebelum menuju counter minuman di resepsionis. aku minta Sebotol air mineral buat perjalananku hari ini.
"Makasih, Bli.." Nyoman tersenyum lebar menjemput oleh oleh dariku.
"buat anak dan istrimu.."
langit sudah berubah gelap saat kami melangkah menuju mobil, tapi hujan masih rintik rintik. lampu neon penanda jalan sudah mulai dinyalakan. Kami bergerak menuju rumah Hendra, seorang mantan perwira polisi di daerah kerobokan.
"ada apa kali ini, bli?"
"cuma kunjungan biasa. Pak Hendra sedang kemana?"
"katanya ke badung sebentar, nanti malam sudah pulang"
“oh begitu, ya sudah kita tunggu saja ke rumah.”
“pak Hendra sebenarnya bilang supaya saya ajak bli keliling dulu.. biar tak usah menunggu lama.”
“biar sajalah, man.. uangnya buat kamu saja.. aku mau tunggu disana.”
Nyoman nyengir lebar dan langsung mengarahkan mobil ke rumah majikannya.
Mobil berhenti di halaman luas sebuah rumah besar. Aku masuk ke dalam, sementara Nyoman memarkir kendaraan. Karena tak ada yang menjawab ketukan ku di pintu, aku memutuskan masuk. Ruang tamunya masih seperti yang aku kenali. Di sudut ruangan sebuah bonsai bunga kemboja berukir menghiasi pedupaan dari perak. Lucu memang, kemboja di Jawa identik dengan makam dan kuburan, tapi disini seperti lambang kedamaian. Di dinding terpampang foto Hendra dan mantan istrinya, seorang artis tahun 80 an. Mereka kini telah bercerai, dan Hendra hanya tinggal berdua dengan anak laki-lakinya, Yudha.
Mendadak aku mendengar suara lirih dari seberang ruangan. Setahuku disana adalah ruangan olahraga, Gymnasium pribadi Hendrajati Anggarwan. Suara lirih itu timbul tenggelam, seperti erangan dan rintihan teredam. Rasa ingin tahu membuat aku membuka pintu sorong ke ruangan itu. Sejenak sinar terang membanjiri mataku, membuatku terpaksa mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Begitu mataku telah bisa melihat lagi, pemandangan di depanku membuatku terperangah.
Dilantai Gym yang dilapisi matras, tiga sosok tubuh telanjang bergumul. Salah satunya ku kenali sebagai Hendra, perutnya yang agak membuncit dan rambut putihnya yang menipis. Ia hanya terperangah kaget, bahkan tak berusaha menyingkir dari atas tubuh telanjang seorang wanita.. Darmi.. istri Nyoman. Sementara Tubuh ketiga, seorang pria tampan dan sangat halus tetap memeluk kedua tubuh telanjang lain. Ia tak peduli kehadiranku.
Mendadak perutku kembali memberontak. Aku berlari keluar dari gym itu, keluar dari pintu samping. Sekilas kulihat Nyoman masuk sambil menenteng oleh-oleh ariku..
Aku terus berlari sampai ke pagar rumah mewah itu. Disana kembali isi perutku terlontak keluar. Habis habisan.. Tapi ternyata penderitaanku belum selesai. Saat aku mengangkat wajah, sosok merah yang begitu aku kenali telah berdiri di hadapanku.
“jadi kamu sudah lihat? Itukah tindakan manusia yang seharusnya jadi khalifah Tuhan?”
Aku tergetar. Saat itu terlintas dalam pikiranku.. tahukah Nyoman tentang hal ini?
“Kalian anak cucu Adam memang lemah. Padahal kalian telah diberikan hadiah terbesar yang mungkin diberikan”, Setan itu memukulkan tangannya yang besar ke dada, “Nurani.. kalian diberi nurani tapi tetap bebal..hah..”
“sudahlah.. kamu hanya cemburu..”
Aku bangkit dari muntah muntahku, rasanya perut ini melilit keras. Kaki pun seperti tak menuruti perintah otak. Setan itu menghela nafasnya. Kemudian saat ia berbicara, nadanya seperti seorang guru yang lelah berusaha mengajari murid nya yang bodoh.
“kalau kamu kira kami masih cemburu pada Adam dan anak cucunya.. kamu benar. Tak habis pikir, kenapa DIA yang tak pernah salah memberikan dunia fana ini pada keturunan Adam. Kenapa karena kesalahan bicara kami dan seluruh keturunan harus masuk neraka, sementara kalian para penghujat masih diberi pilihan..”
aku terdiam mendengar ceramah panjang lebar itu. Rasanya aneh melihatnya membicarakan nenek moyang ku dengan cara seperti itu.
“lantas kamu yang dikaruniai otak pasti bisa membandingkan.. apa yang dilakukan anak cucu Adam pada dunia yang dititipkan pada mereka..
“kamu salah kalau kamu pikir kami kesulitan menggoda kalian.
“Kami bahkan harus mencontoh beberapa tindakan kalian melanggar aturan Tuhan.. kalian para manusia benar benar kreatif mencari cara berbuat dosa..”
Aku menjatuhkan diri di sisi jalan. Aku menolak percaya pada Setan itu. Manusia pasti lebih baik dari apa yang kusaksikan. Aku tak akan percaya..
Sambil menyeret kakiku kearah luar, aku membatin; “kenapa manusia tak bisa menggunakan nuraninya, dan hanya mengandalkan nafsu?” Dari dalam rumah terdengar teriakan dan bantingan benda pecah belah. Rasanya jadi wajar kalau Nyoman marah, aku tak menyalahkan dia. Tapi aku juga tak membenarkannya. Kepalaku terlalu sakit untuk berpikir.
" setan alas.."
" hahaha.." suara setan tertawa benar benar menyakitkanku. seperti mendengarkan papan tulis di gurat dengan kuku. Setan itu mengikuti langkahku yang gontai. Tapaknya yang berkuku genap menancap kuat di rumput hijau yang terawat rapi.
dari dalam rumah kudengar teriakan histeris yang semakin lama semakin kuat dan sering. rumah besar berhalaman luas itu seolah meredam keributan didalamnya. di luar semua masih tetap tenang. angin lembut mengayun pucuk pepohonan yang meneteskan embun sisa hujan. kegelapan masih ramah, seolah sengaja mengatupkan mata-mata manusia agar tak memandangi para pendosa.
Perutku semakin melilit. aku duduk di bawah pohon cemara tinggi yang tumbuh dekat dengan gerbang. di tempat terlindung itu aku masih bisa menyaksikan samar-samar pintu rumah mewah milik Hendra.
" benar 'kan? kalian benar benar kerdil.."
setan telah sampai di sisiku. dia berdiri tenang, menyandarkan punggungnya ke pohon cemara yang menjadi tempatku berteduh.
" Tahukah kamu bagaimana kami hidup selama ini? kami terpaksa hidup di sela sela antara panas dan dingin, basah dan kering, terang dan gelap. hanya saat saat tertentu kami bisa menunjukkan tanduk kami pada dunia, dan semua karena terpaksa mengalah dari mahluk lemah seperti kalian.. mahluk yang dikaruniai dunia dan seisinya, tapi masih meminta lebih."
Setan itu mengangkat wajahnya ke arah rembulan separuh di langit. Suaranya mendendangkan kebencian berkarat yang telah bersemai ratusan tahun di jantung mahluk itu. Suara itu membuatku terkesiap, dan menengok ke arahnya. Mahluk itu mendadak menengok ke arahku dan tersenyum.
Seringai buas dalam senyum itu menyadarkanku, tak ada lagi suara dari dalam rumah.
di bawah sinar bulan separuh itu aku melihat pemandangan yang mendadak membuatku tertegun.
Aku melihat Nyoman berdiri dengan mata nyalang di depan pintu rumah. bajunya penuh bercak hitam sementara di tangannya sebilah parang terpasang. di ujungnya bercak hitam yang sama dengan di bajunya mengalir ke ujungnya. bercak hitam itu menetes netes. hitam sehitam malam.. atau mungkin merah?
mendadak setan di sebelahku menurunkan sayapnya menutupi tubuhku. Nyoman yang memandang mencari cari sekeliling halaman rumah seperti melewatiku, ia seolah tak melihat setan yang berpendar merah mengembangkan sayapnya menutupiku.
" dia mencari mu.. entah mau membunuhmu atau malah meminta ampun. Aku tak mengerti kalian, mahluk lemah .."
Setan menoleh kepadaku. Ia kembali menyeringai.
"ataukah kamu masih ingin tahu rasa takut? .. kalau kubuka sayapku kau akan mengetahui rasanya takut.." Matanya memancarkan cahaya buas.
Aku hanya mendengus, kata katanya tak mengejutkanku. Aku tak takut. Aku tak yakin dapat dikalahkan hanya oleh seorang Nyoman, meski dengan parang di tangan.
Aku merasa perutku kembali bergolak. Kutepis sayap yang menjuntai di hadapanku dan berjalan menuju Gerbang. Nyoman telah berbalik kembali ke dalam rumah. dia tidak melihatku. Perlahan kutapakkan kakiku menuju gerbang. Di saku celana kudapati telepon selularku, ada enam pesan masuk ke inboxnya, tapi aku tak berniat membukanya. Kutekan nomer kantor polisi dan menekan tombol dial. sambil mendengarkan nada sambung aku kembali menoleh ke rumah itu. di bawah pohon, setan masih memandangiku. senyumnya tak muncul, ada kerut di wajah merah itu. ia kelihatan merenung..
Aku berbalik dan mulai berjalan kedalam kegelapan. rasa mual di dadaku menggolak.
aku belum juga menemukan rasa takutku, hanya muak. muak pada kehidupan, muak pada manusia, muak pada dunia. Handphone ku masih mendengungkan nada sambung, kelihatannya tak ada orang di kantor polisi.
aku tak lagi peduli.
aku kembali melangkah, mencari rasa takutku.
tapi rasanya aku tak akan merasa kesulitan melepaskan diri dari dunia ini, dunia yang memuakkan dan menyebalkan. yah.. rasanya tak akan ada kesulitan, bahkan jika aku belum menemukan rasa takutku.
tak ada lagi yang membuatku bergidik, meningkatkan tekanan darah dan memompa adrenalinku sekaligus. bahkan rasanya bulu kudukku sudah lupa caranya meremang.
aku kehilangan rasa takutku. sejak itu dunia rasanya membosankan.
Guruku, yang banyak menasehatiku tentang kehidupan, mengatakan agar aku mencari lagi rasa takutku. Tanpa rasa takut, manusia tak akan berhasil melepaskan diri dari dunia ini; begitu nasehatnya.
Seperti biasa aku mengikuti nasehatnya, walaupun kali ini menurutku alasannya tak masuk akal. Tujuanku bukan meninggalkan dunia ini, tujuanku adalah mengerti dunia ini. Ibaratnya dunia ini adalah petunjuk dalam bentuk teka teki yang harus diselesaikan,.
Maka aku memulai perjalananku mencari tempat tempat keramat, daerah daerah paling mengerikan, dan peristiwa peristiwa paling menakutkan. Aku menyeret tubuhku ke puncak puncak tertinggi dunia, menyelam ke titik titik terdalam bumi ini. Aku paksakan bertarung melawan banteng dan harimau, berenang bersama hiu dan barakuda. Aku terluka, patah, parah dan bernanah, tapi aku tak pernah ketakutan.
Dan saat tubuhku kelelahan dan rasa frustasiku memuncak, aku akan mengundurkan diri ke dalam duniaku. Dunia kegelapan yang menentramkan.
Saat saat aku nyaris putus asa, aku akan merenung. Aku akan keluar di malam yang paling gelap, berjalan ke taman taman berpohon besar dan sepi. Kesunyian dan kegelapan selalu menentramkan aku seperti obat tidur dosis tinggi. Aku selalu merasa terlindung dalam kegelapan dan keheningan.
Kesukaanku pada gelap dan sunyi itu pula yang suatu hari membuatku mengunjungi hutan gunung Rinjani. Aku naik sampai menemukan sebuah tanah luas berumput, sepertinya taman alamiah yang diambil alih oleh manusia. Suasana nya sunyi, aku memang tak mengharapkan ada siapapun di tempat ini pada pukul 2 dini hari. Tapi aku ternyata tidak sendirian.
Aku melihat sesosok tubuh besar membungkuk di sebuah bangku taman, dipojok tergelap dari taman. Dia duduk merapat ke sebuah pohon besar sehingga hanya dari sudut tertentu ia dapat terlihat.
Itu ternyata setan.
Aku yakin sekali itu setan. Sosok jin yang biasa dipakai menakut nakuti anak anak. Termasuk Aku .. begitu ketakutannya aku pada setan sampai aku tak berani menengok keluar jendela saat malam tiba. Akan kuselimuti wajahku rapat rapat agar tak ada seberkas cahaya memantul di korneaku dan membentuk bayangan bayangan mengerikan didalamnya. Bayangan yang aku persepsikan sebagai setan, hantu, jin, iblis dan sebangsanya.
Terus terang saat itu aku takut melihat setan..
Dan karenanya aku benci cahaya cahaya redup pada malam hari.
Bukan aku takut cahaya, tidak!!.. Aku sangat suka pada matahari yang bersinar di siang hari, tapi menurutku malam hari memang ditakdirkan gelap. Cahaya redup hanya membuat bayang bayang aneh dan mengerikan. Gelap lebih baik padaku, ia melindungiku dari penampakan apapun. Sebab dalam gelap mataku tak melihat, tak perlu melihat…
Sampai kemudian aku tahu, setan hanya mahluk yang lemah. Ia dibayangi rasa rendah diri yang membuatnya merasa perlu menghina mahluk lain. Ia dihinggapi rasa iri karena merasa tidak mampu menyaingi nenek moyang manusia, Nabi Adam as. tercinta. Aku baru sadar bahwa seharusnya aku kasihan padanya, bukan merasa takut.
Sekilas saja aku tahu yang duduk di bangku taman itu adalah sang setan sendiri. Aku tak tahu bagaimana aku tahu, pokoknya aku memang tahu bahwa ia itu setan.
Mahluk itu tampak melamun.
Aku memutuskan untuk duduk disebelahnya. Bangku taman itu berbunyi saat kududuki, tapi sepertinya tak mengganggu mahluk kelam itu dari lamunannya. Aku tak mau mengganggunya, kami sesama mahluk malam tak sepantasnya saling menggangu.
Perlahan terdengar keluhan – atau lebih mirip lenguhan – kecewa dari sebelahku.
Aku menoleh pada setan di sebelahku. Wajahnya yang biasanya bercahaya dan menarik hati, kini muram. Setan itu bahkan tak lagi mendongakkan kepalanya.
“aku tak mampu lagi, terlalu berat bagiku... rasanya kebaikan dalam hatiku terkikis”
“hei, kamu setan.. seharusnya tak ada kebaikan dalam hatimu”
“ah, kau termakan propaganda lama.
Aku ini mahluk Tuhan, pastinya diciptakan dengan kebaikan.
Tuhan maha baik, bagaimana mungkin kau percaya tak ada kebaikan dalam hatiku, ciptaannya?. Jutaan tahun aku bertahan di surga, bergaul akrab dengan para malaikat.. kau kira itu mungkin terjadi tanpa secuil kebaikan dalam hatiku? ”
Ia mengangkat wajahnya. Kulit mukanya yang kemerahan tampak berkerut, jelas ia menahan marah
“ itu kan sebelum kau dengki pada Adam”
“ itu lain soal..”
Setan mengangkat tubuhnya. Saat aku mendongak memandangnya baru aku sadar betapa tinggi tubuhnya. Proporsinya memang tak serupa dengan manusia biasa, kakinya terlalu kekar dan pendek untuk tubuh rampingnya yang anggun. Kepalanya berukuran terlalu besar, mungkin karena halo merah jingga yang mengelilingi keningnya.
Aneh dan sedikit mengerikan, tapi ada semacam aura berpendar yang mengelilingi tubuhnya, membuatnya terasa hangat dan akrab. Cahaya itu seperti menarik narik aku untuk memeluknya.
Setan mengebutkan jubahnya dan menarik nafas panjang. Ia membungkus tubuhnya dengan jubah itu. Kini ia tampak anggun bercahaya.
“sudah kuduga kamu tak akan mengerti, itu sudah kuduga..”
Perlahan tubuhnya naik dan bercahaya lebih terang. Perlahan ia mengabur, seolah molekul molekul tubuhnya menghablur kedalam sebuah inti berwarna merah dalam dirinya. Sebelum ia sepenuhnya menghilang dalam nyala berpendar itu, aku sempat mendengarkan suaranya yang parau. Seperti suara seseorang yang kecewa, tapi juga menebarkan aura kesombongan yang luar biasa..
“Wajar saja kalau kau tak mengerti, kau Cuma manusia.”
Kembali aku sendirian dalam gelap. Yah, gelap selalu jadi temanku. Melewati hari hariku dalam kegelapan yang biasanya sunyi. Malam hari menjadi taman bermainku, kilauan bintang yang membari cahaya samar samar sekedar cukup untukku melihat, telah menjadi perhiasan hari hariku.
Kembali aku merenung di bangku taman itu. Di langit yang maha luas tampak cahaya nyaris bulat sempurna. Ya hari ini purnama ternyata. Kegelapan yang melindungiku tertebas sayap sayap perak yang dipantulkan sang rembulan penuh itu.
Dulu aku takut sekali pada bulan, terutama yang purnama. Sang luna seperti mata bercahaya yang terus mengikutiku. Memandangiku. Menghitung segala kesalahanku dan menegaskan semua perbuatanku. Mata itu juga mengusir kegelapan pelindungku, membuatku merasa telanjang.
Ya dulu aku takut pada rembulan. Bagiku dia tidak indah. Bulan adalah anomali, cahaya yang muncul ditengah malam, yang seharusnya ditakdirkan gulita. Kini aku tak lagi takut pada rembulan, sejak aku tahu ia tak sengaja mengawasiku. Ia hanya sebongkah asteroid raksasa yang terjerat gravitasi bumi, dan dipaksa menjadi satelitnya.
Ia tak berkuasa. Ia malahan hanya tawanan yang dipaksa mengikuti gerakan tuannya. Ia terpenjara, sama seperti aku. Kini rembulan adalah sahabat senasibku, yang hanya bisa bertukar duka lewat cahaya lembutnya.
Cukup lama aku terduduk disana, memikirkan pertemuanku dengan setan. Aku menyesal tak bertanya padanya dimana mencari kengerian dan ketakutan. Mahluk dikutuk seperti dia tentunya pernah pergi ke berbagai tempat yang mengerikan. Harusnya aku Tanya dia..
Sesalku tak mampu memanggilnya kembali.
64 jam kemudian aku berada di sebuah desa kecil di Sulawesi. Aku menyaksikan evakuasi dan penyelamatan jenazah tiga orang remaja yang di tebas putus lehernya. Aku ada ditengah kerumunan yang menghujat sang pembunuh yang belum tertangkap. Kepala polisi wilayah tampak menghadiri acara itu. kamera Tv menjadikannya seperti pesta.. pesta para pemakan bangkai.
“ binatang mereka..”
“ bukan binatang lagi, ini setan punya tindakan..” gerutuan itu membuatku menoleh. Aku jadi ingin tahu bagaimana tanggapan setan kalau tahu ia disejajarkan –bahkan di tingkatan lebih rendah- dengan binatang.
Tiba-tiba beberapa orang mulai mengamuk. mereka menerjang masuk ke POS polisi itu sambil meneriakan sesuatu yang terdengar seperti; kepala polisi harus bertanggungjawab, aparat pasti yang berbuat, darah bayar darah dan sejenisnya. orang orang mulai menyingkir dari lapangan itu, membuat beberapa orang itu laluasa merangsek ke arah polisi. mereka jelas terlatih. hanya 4 orang mereka bisa menahan belasan polis, membuat mereka sibuk dan kocar kacir. Sang kepala polisi dijaga ketat
oleh belasan polisi bersenjata.sementara di bagian belakang, 2 orang asing lainnya memanasi masyarakat sehingga mereka kembali maju. masyarakat pun mulai beranjak mendekat..
tiba-tiba sebilah parang teracung, dan seorang polisi muda tersungkur dengan perut robek. suasana langsung berubah, serentak para polisi membidikan senapan mereka. dan menyalak keras.. dua orang terbanting tapi bukan para penyerbu. dua orang yang diterjang timah panas adalah massa yang terlanjur maju. seorang kameramen TV terjungkal disambar parang. teman temannya tidak menolong tapi malah berebut mengabadikan. teriakan panik diselingi letusan senjata. kekacauan tak terhindarkan.
jelas para penyerbu itu terlatih. mereka menyusup diantara masyarakat yang bergerak maju, sambil menjadikan mereka tameng terhadap senapan polisi yang menyalak keras. bergerak mundur melarikan diri, sementara para aparat terkurung massa yang panik.
para penyerbu lari kearahku. parang mereka teracung, mengusir massa disekitarnya. massa yang takut pada kilauan parang mereka, digiring seperti bebek menutupi pelarian mereka. tapi aku tak takut pada parang mereka. dan aku menolak untuk ikut terseret arus massa yang berlarian panik. maka hanya dalam hitungan detik, kami berhadapan.
Penyerang terdepan, mencoba membuatku takut dengan mengibaskan parangnya. tindakan bodoh.. dengan mengibaskan parang tak beraturan dia membuat lubang pada kewaspadaannya sekaligus menutupi gerakan kawan dibelakangnya. aku hanya menggeser kaki mengikuti arah parangnya, mudah saja mengikuti gerakannya kalau kita tak takut pada parang besar ditangannya. kawan dibelakangnya bereaksi dan maju ke arahku, tapi terlambat. dengan satu sentakan aku pukul pergelangan tangan penyerbu pertama, parangnya terlepas ke sebelah kakiku... sebelum dia bisa mengembalikan keseimbangan, sebuah dorongan ke bagian samping lutut kirinya membuatnya roboh ke belakang, menjatuhi temannya yang tengah mencoba menyabetkan parangnya.
penyerbu kedua mencoba menahan tenaganya, tapi parang ditangannya terlanjur menyobek lengan kawannya. darah pun muncrat.. penyerbu pertama mengerang kesakitan, dan kawannya sejenak terpaku. hanya sejenak, tapi lebih dari cukup. bagian perutnya terlihat, hanya dengan sebuah tendangan ringan dengan ujung kaki di ulu hatinya, ia kehilangan kesadaran. Tubuhnya melengkung saat suply oksigen ke otaknya terhenti...
Aku berdiri menyaksikan kekacauan di sekitarku. penyerbu yang lain berhasil lari kearah yang berseberangan. mereka masih sempat melemparkan pandangan mengancam padaku sebelum lari. Aku tak bereaksi, dua tubuh di kakiku mulai bergerak tapi aku terlalu malas menanggapinya. kerusuhan ini membuatku kecewa pada kondisi negeriku.
Dua perusuh itu berhasil dibekuk polisi dan kepala polisi wilayah langsung bergaya di depan belasan kamera TV yang bergentayangan. Aku tak peduli. Aku hanya sedih melihat jenazah 3 remaja yang tewas, dan para korban lain yang masih tergeletak dan dirawat. Buat apa mereka terluka? buat apa mereka mati?
beberapa menit aku termenung memandangi mereka, sebelum asisten kepala polisi mengatakan aku ditunggu di dalam oleh bapak, begitu dia membahasakan atasannya. Aku merasa tak enak dengan kesopanannya akhirnya masuk ke dalam.
kepala polisi itu mengajakku masuk ke ruangannya. dengan bangga dia menunjukkan kasus kasus besar yang dia tangani.
dengan bangga dia bicara;
" ini adalah keberhasilan besar, kita bisa menangkap profokator yang meresahkan wilayah ini. ini juga bukti dari kesigapan anak buah saya.."
Aku hanya mengiya. malas membantahnya. sang ajudan menunduk ketika beradu pandang denganku.
" satu bukti lagi bahwa kita sendiri" jarinya menunjuk dadanya yang diganduli berbagai lencana.
" kita mampu mengamankan negara kita..
terima kasih atas bantuan anda. kalau saja semua warga negara mau memberi bantuan kecil seperti anda, saya yakin kita semua pasti bisa membereskan masalah bangsa kita."
kemudian ia berbicara tentang berbagai prestasi penangkapannya. dengan sigap sang ajudan mengeluarkan foto foto pembuktian dari dalam tasnya..
"nah.. ini kasus anak perempuan yang membunuh ayahnya sendiri setelah dihasut pacarnya.. ternyata sang pacar diam diam adalah saingan bisnis ayahnya.. hahaha.. yang lucu, setelah ABG itu dipenjara, sang pacar malah menikah dengan ibunya.." kepala polisi itu terpingkal, sementara sang ajudan tersenyum lebar. aku sendiri gagal melihat kelucuan peristiwa itu.
" ini kasus yang belum terpecahkan.. seorang sekretaris anggota DPR terhormat mati mendadak.. kepalanya dibenamkan ke ember.. posisinya nungging...telanjang bulat dan disodomi . kalau saja tidak ada pelarangan penyelidikan saya pasti sudah tangkap pelakunya.."
tangan gemuknya berserabutan di udara. wajahnya tampak gusar. saat itu sepertinya ia lebih cocok menjadi pemain drama daripada polisi.
" ini gara-gara ada yang menutupi demi reputasinya.. sialan, reputasi saya kan jadi terganggu kalau ada kasus tak selesai seperti ini.. dasar reputasi tai kucing... hampir semua tahu kelakuan sekertaris itu.. pembunuhnya ya nggak jauh jauh. kalau ada ijin sudah habis dia.."
mendadak seperti tersadar, ia kembali tenang dan menoleh ke arahku. " terima kasih " katanya. "anda boleh pergi"
keluar dari ruangan itu, aku merasa mual. mendadak saja aku muntah-muntah. dengan mata berair dan tenggorokan yang rasanya tak karuan, aku paksakan diri duduk di pinggir jalan setapak di seberang balai pertemuan itu. kelelahan tiba tiba menyapaku akrab. Aku lelah sekali.
" itu namanya mual, dan itulah yang aku rasakan saat kita ketemu kemarin."
Kuangkat kepalaku dan sosok merah berpendar dibalut jubah tebal berdiri di sebelahku.
" itu yang aku rasakan kemarin,
kamu mengerti kan? "
Aku hanya menggeleng. Setan itu tampaknya tak berusaha menyembunyikan dirinya. Tubuh jangkungnya pasti kontras dengan padang ilalang dibelakang kami.
" kamu harusnya mengerti, bahkan jika kamu manusia..
Aku mungkin jahat dan kejam menurut kalian, tapi apa yang bangsa kalian lakukan jauh lebih memuakkan.
kalian yang lemah berani membunuh, menyiksa dan bahkan bangga atasnya.
kalian berani menantang yang Maha Tak Terkalahkan yang telah mengasihi kalian sedemikian besar.
kalian bangsa kerdil yang memuakkan"
Mahluk itu berhenti dan berbalik. warna merah mulai berpendar lagi di dalam dirinya. dia bersiap siap pergi.
" aku tak tahu apa yang dilihat Tuanku saat memilih kalian. Saat mentahbiskan kalian lebih sempurna dari kami..
Aku tak tahu..
Mungkin Dia benar, yah.. Dia tak pernah salah..
kalian bisa melakukan kejahatan lebih sempurna, lebih kejam, lebih tak bermoral. lebih gila lagi kalian melakukannya tanpa menyesal..
Tapi kalian tak mungkin lebih baik dari kami..
mahluk api dan cahaya "
Suaranya masih mendenging saat wujudnya menghilang. Senja semburat mulai muncul, dan aku masih terduduk di rumput. Aku sudah mendengar kecemburuan terbesar setan pada manusia, tapi itu tak membuatku bangga. Aku belum lagi menemukan rasa takutku.
Perutku mendadak kembali bergejolak dan memuntahkan isinya.
dua hari kemudian aku menginjakkan kakiku di sebuah pulau yang keindahan dan pesonanya, membuatnya dijuluki pulau para dewa. ya, aku berkunjung ke Bali.
Bandara Ngurah Rai mendung saat aku tiba, seolah menyambut kembalinya sang anak haram yang tak dikehendaki. Bali yang indah, membawa kenangan buruk bagiku. Aku sangat mencintai pulau kelahiranku ini, seperti aku yakin pulau ini mencintaiku. Tapi cinta yang mengakar diantara kami tak menghalangi pengetahuan; bahwa setiap kali kami bertemu terlalu lama bencana terjadi. paling tidak bencana bagiku.
Cuaca yang memburuk dengan cepat membuat aku berucap syukur saat berhasil tiba di gedung bandara sebelum hujan turun. dan hujan benar benar turun dengan cepat, lebat dan deras. Guntur terus meraung, seperti tengah menyesali kedatanganku.
Aku bergegas menuju gerbang. Supir yang menjemput pasti sudah cemas, pesawat ku delay sampai 2 jam gara gara ramalan badai yang baru tiba ini.
sebuah corolla 95 silver menungguku di pelataran. menerobos hujan deras, aku menyapa Nyoman Tantra yang menyambutku dengan sebuah payung besar berwarna merah kusam.
"Bli, bagaimana kabar?"
"baik, man.. ayo kita jalan man."
pintu mobil berdecit saat Nyoman menutupnya dibelakangku.
Kami menyisir Kuta di bawah rinai hujan. dahan nyiur di pinggir pantai berderak derak, angin membuat ombak tak lagi indah. Senja yang menjelang terlalu cepat dan hujan membuat pantai tampak lengang. di cafe cafe fast food pinggir jalan tampak turis turis asing berteduh hanya mengenakan celana pendek dan bikini. wajah mereka tampak kecewa, tak bisa berjemur hari ini.
"Nyoman, kita ke hotel dulu. setelah itu baru kita ke Bli Angsana"
"ya, Bli.. siap lah"
"Apa kabar istri?"
"Sehat, masih di kampung, Bli.. kemarin minta ketemu mertua"
aku tersenyum mendengar cara Nyoman melafalkan huruf 't'. Khas daerah timur Indonesia.
"Anak mu bagaimana? berarti sudah sekolah sekarang"
"Sudah, Bli.. kelas dua.." Nyoman tersenyum, tangan kirinya sejenak lepas dari stir dan merogoh ke kompartemen di bawah bangku. ia menarik dua lembar foto dari sana dan menyodorkannya padaku.
"ini dia, Bli... Swasana..anakku"
aku ambil foto itu. ternyata foto foto seorang anak dan ibunya. anak yang tampan, berusia kira kira enam atau tujuh tahun sedang digendong ibunya, seorang wanita bali yang cantik, berkulit sawo matang dan bertubuh kukuh tapi sintal. matanya yang bulat besar menatap percaya diri kearahku.. kearah kamera yang memotretnya. senyum lebar anaknya dilengkapi dengan pesona sang ibu. ah, rasa nya waktu jadi cepat berlalu. aku masih ingat ketika Made Darmi, istri Nyoman, melahirkan buah hati mereka ini. Aku masih ingat bermain main saat Swasana balita.
"Tampan anakmu, Man.."
"Seperti bapaknya tentunya.. hahaha" Nyoman melirik ke arahku sambil terbahak. Keriaannya menular padaku, dan kami tertawa beberapa saat.
mendung dan angin badai di luar masih mengamuk saat Nyoman menghentikan mobil di pelataran parkir sebuah hotel. Hotel bintang satu kecil yang jadi langgananku, Jasmine hotel. Sigap Nyoman keluar dan menyeret koper kecil ku turun.
"Bli, pak Hendra sebenarnya minta bli tinggal saja di rumahnya.."
"Ah, nggak enak saya.. jadi nggak bebas, Man."
"iya juga sih.. sayang Darmi masih di buleleng, pulang ke rumah mertua, kangen katanya… kalau tidak kita makan di rumah saya, bli.." Nyoman menyamakan langkah denganku, saat kami bergegas menghindari hujan menuju lobby hotel.
"gampang, nanti lagi kan bisa.."
Nyoman mendaftarkanku ke resepsionis. Dia hapal data diriku. Wajar saja, sudah beberapa kali aku datang ke bali menghadiri undangan bos Nyoman, Hendrajati Anggarwan, dan setiap kali yang melayaniku adalah Nyoman. Ia sudah menganggapku sebagai temannya. teman dari jakarta.
Setelah urusan Check in beres aku naik ke kamarku untuk mencuci muka, Nyoman memilih tetap di Lobby sambil merokok. Dia masih ingat, aku tak keberatan pada perokok selama mereka tak menghembuskan asapnya padaku. Nyoman tahu aku tak suka rokok.
saat aku kembali, aku dapati Nyoman tengah membaca koran. Aku jatuhkan oleh olehku dari jakarta ke pangkuannya, sebelum menuju counter minuman di resepsionis. aku minta Sebotol air mineral buat perjalananku hari ini.
"Makasih, Bli.." Nyoman tersenyum lebar menjemput oleh oleh dariku.
"buat anak dan istrimu.."
langit sudah berubah gelap saat kami melangkah menuju mobil, tapi hujan masih rintik rintik. lampu neon penanda jalan sudah mulai dinyalakan. Kami bergerak menuju rumah Hendra, seorang mantan perwira polisi di daerah kerobokan.
"ada apa kali ini, bli?"
"cuma kunjungan biasa. Pak Hendra sedang kemana?"
"katanya ke badung sebentar, nanti malam sudah pulang"
“oh begitu, ya sudah kita tunggu saja ke rumah.”
“pak Hendra sebenarnya bilang supaya saya ajak bli keliling dulu.. biar tak usah menunggu lama.”
“biar sajalah, man.. uangnya buat kamu saja.. aku mau tunggu disana.”
Nyoman nyengir lebar dan langsung mengarahkan mobil ke rumah majikannya.
Mobil berhenti di halaman luas sebuah rumah besar. Aku masuk ke dalam, sementara Nyoman memarkir kendaraan. Karena tak ada yang menjawab ketukan ku di pintu, aku memutuskan masuk. Ruang tamunya masih seperti yang aku kenali. Di sudut ruangan sebuah bonsai bunga kemboja berukir menghiasi pedupaan dari perak. Lucu memang, kemboja di Jawa identik dengan makam dan kuburan, tapi disini seperti lambang kedamaian. Di dinding terpampang foto Hendra dan mantan istrinya, seorang artis tahun 80 an. Mereka kini telah bercerai, dan Hendra hanya tinggal berdua dengan anak laki-lakinya, Yudha.
Mendadak aku mendengar suara lirih dari seberang ruangan. Setahuku disana adalah ruangan olahraga, Gymnasium pribadi Hendrajati Anggarwan. Suara lirih itu timbul tenggelam, seperti erangan dan rintihan teredam. Rasa ingin tahu membuat aku membuka pintu sorong ke ruangan itu. Sejenak sinar terang membanjiri mataku, membuatku terpaksa mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Begitu mataku telah bisa melihat lagi, pemandangan di depanku membuatku terperangah.
Dilantai Gym yang dilapisi matras, tiga sosok tubuh telanjang bergumul. Salah satunya ku kenali sebagai Hendra, perutnya yang agak membuncit dan rambut putihnya yang menipis. Ia hanya terperangah kaget, bahkan tak berusaha menyingkir dari atas tubuh telanjang seorang wanita.. Darmi.. istri Nyoman. Sementara Tubuh ketiga, seorang pria tampan dan sangat halus tetap memeluk kedua tubuh telanjang lain. Ia tak peduli kehadiranku.
Mendadak perutku kembali memberontak. Aku berlari keluar dari gym itu, keluar dari pintu samping. Sekilas kulihat Nyoman masuk sambil menenteng oleh-oleh ariku..
Aku terus berlari sampai ke pagar rumah mewah itu. Disana kembali isi perutku terlontak keluar. Habis habisan.. Tapi ternyata penderitaanku belum selesai. Saat aku mengangkat wajah, sosok merah yang begitu aku kenali telah berdiri di hadapanku.
“jadi kamu sudah lihat? Itukah tindakan manusia yang seharusnya jadi khalifah Tuhan?”
Aku tergetar. Saat itu terlintas dalam pikiranku.. tahukah Nyoman tentang hal ini?
“Kalian anak cucu Adam memang lemah. Padahal kalian telah diberikan hadiah terbesar yang mungkin diberikan”, Setan itu memukulkan tangannya yang besar ke dada, “Nurani.. kalian diberi nurani tapi tetap bebal..hah..”
“sudahlah.. kamu hanya cemburu..”
Aku bangkit dari muntah muntahku, rasanya perut ini melilit keras. Kaki pun seperti tak menuruti perintah otak. Setan itu menghela nafasnya. Kemudian saat ia berbicara, nadanya seperti seorang guru yang lelah berusaha mengajari murid nya yang bodoh.
“kalau kamu kira kami masih cemburu pada Adam dan anak cucunya.. kamu benar. Tak habis pikir, kenapa DIA yang tak pernah salah memberikan dunia fana ini pada keturunan Adam. Kenapa karena kesalahan bicara kami dan seluruh keturunan harus masuk neraka, sementara kalian para penghujat masih diberi pilihan..”
aku terdiam mendengar ceramah panjang lebar itu. Rasanya aneh melihatnya membicarakan nenek moyang ku dengan cara seperti itu.
“lantas kamu yang dikaruniai otak pasti bisa membandingkan.. apa yang dilakukan anak cucu Adam pada dunia yang dititipkan pada mereka..
“kamu salah kalau kamu pikir kami kesulitan menggoda kalian.
“Kami bahkan harus mencontoh beberapa tindakan kalian melanggar aturan Tuhan.. kalian para manusia benar benar kreatif mencari cara berbuat dosa..”
Aku menjatuhkan diri di sisi jalan. Aku menolak percaya pada Setan itu. Manusia pasti lebih baik dari apa yang kusaksikan. Aku tak akan percaya..
Sambil menyeret kakiku kearah luar, aku membatin; “kenapa manusia tak bisa menggunakan nuraninya, dan hanya mengandalkan nafsu?” Dari dalam rumah terdengar teriakan dan bantingan benda pecah belah. Rasanya jadi wajar kalau Nyoman marah, aku tak menyalahkan dia. Tapi aku juga tak membenarkannya. Kepalaku terlalu sakit untuk berpikir.
" setan alas.."
" hahaha.." suara setan tertawa benar benar menyakitkanku. seperti mendengarkan papan tulis di gurat dengan kuku. Setan itu mengikuti langkahku yang gontai. Tapaknya yang berkuku genap menancap kuat di rumput hijau yang terawat rapi.
dari dalam rumah kudengar teriakan histeris yang semakin lama semakin kuat dan sering. rumah besar berhalaman luas itu seolah meredam keributan didalamnya. di luar semua masih tetap tenang. angin lembut mengayun pucuk pepohonan yang meneteskan embun sisa hujan. kegelapan masih ramah, seolah sengaja mengatupkan mata-mata manusia agar tak memandangi para pendosa.
Perutku semakin melilit. aku duduk di bawah pohon cemara tinggi yang tumbuh dekat dengan gerbang. di tempat terlindung itu aku masih bisa menyaksikan samar-samar pintu rumah mewah milik Hendra.
" benar 'kan? kalian benar benar kerdil.."
setan telah sampai di sisiku. dia berdiri tenang, menyandarkan punggungnya ke pohon cemara yang menjadi tempatku berteduh.
" Tahukah kamu bagaimana kami hidup selama ini? kami terpaksa hidup di sela sela antara panas dan dingin, basah dan kering, terang dan gelap. hanya saat saat tertentu kami bisa menunjukkan tanduk kami pada dunia, dan semua karena terpaksa mengalah dari mahluk lemah seperti kalian.. mahluk yang dikaruniai dunia dan seisinya, tapi masih meminta lebih."
Setan itu mengangkat wajahnya ke arah rembulan separuh di langit. Suaranya mendendangkan kebencian berkarat yang telah bersemai ratusan tahun di jantung mahluk itu. Suara itu membuatku terkesiap, dan menengok ke arahnya. Mahluk itu mendadak menengok ke arahku dan tersenyum.
Seringai buas dalam senyum itu menyadarkanku, tak ada lagi suara dari dalam rumah.
di bawah sinar bulan separuh itu aku melihat pemandangan yang mendadak membuatku tertegun.
Aku melihat Nyoman berdiri dengan mata nyalang di depan pintu rumah. bajunya penuh bercak hitam sementara di tangannya sebilah parang terpasang. di ujungnya bercak hitam yang sama dengan di bajunya mengalir ke ujungnya. bercak hitam itu menetes netes. hitam sehitam malam.. atau mungkin merah?
mendadak setan di sebelahku menurunkan sayapnya menutupi tubuhku. Nyoman yang memandang mencari cari sekeliling halaman rumah seperti melewatiku, ia seolah tak melihat setan yang berpendar merah mengembangkan sayapnya menutupiku.
" dia mencari mu.. entah mau membunuhmu atau malah meminta ampun. Aku tak mengerti kalian, mahluk lemah .."
Setan menoleh kepadaku. Ia kembali menyeringai.
"ataukah kamu masih ingin tahu rasa takut? .. kalau kubuka sayapku kau akan mengetahui rasanya takut.." Matanya memancarkan cahaya buas.
Aku hanya mendengus, kata katanya tak mengejutkanku. Aku tak takut. Aku tak yakin dapat dikalahkan hanya oleh seorang Nyoman, meski dengan parang di tangan.
Aku merasa perutku kembali bergolak. Kutepis sayap yang menjuntai di hadapanku dan berjalan menuju Gerbang. Nyoman telah berbalik kembali ke dalam rumah. dia tidak melihatku. Perlahan kutapakkan kakiku menuju gerbang. Di saku celana kudapati telepon selularku, ada enam pesan masuk ke inboxnya, tapi aku tak berniat membukanya. Kutekan nomer kantor polisi dan menekan tombol dial. sambil mendengarkan nada sambung aku kembali menoleh ke rumah itu. di bawah pohon, setan masih memandangiku. senyumnya tak muncul, ada kerut di wajah merah itu. ia kelihatan merenung..
Aku berbalik dan mulai berjalan kedalam kegelapan. rasa mual di dadaku menggolak.
aku belum juga menemukan rasa takutku, hanya muak. muak pada kehidupan, muak pada manusia, muak pada dunia. Handphone ku masih mendengungkan nada sambung, kelihatannya tak ada orang di kantor polisi.
aku tak lagi peduli.
aku kembali melangkah, mencari rasa takutku.
tapi rasanya aku tak akan merasa kesulitan melepaskan diri dari dunia ini, dunia yang memuakkan dan menyebalkan. yah.. rasanya tak akan ada kesulitan, bahkan jika aku belum menemukan rasa takutku.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home