Friday

ELDORADO

Sejak aku kenal Rio, ia sudah seperti itu. Pemimpi dan Pengkhayal. Aku tidak bilang Rio manusia tidak berguna yang bisanya Cuma berangan-angan, sebaliknya, Rio adalah manusia dengan potensi paling hebat yang pernah aku temui. Dia cerdas dan penuh antusiasme, karena itu ia sangat mudah mempengaruhi dan meyakinkan orang lain (dalam kasus saya; dia mempesona), dia juga tak takut bekerja keras. Tubuhnya milik olahragawan kelas satu. Tidak pernah keluar dari posisi tiga besar dalam olahraga apapun, walau tak pernah berlatih biasanya paling rendah posisinya runner up. Belum lagi yang paling menonjol adalah kemampuan bicara dan kreatifitasnya yang sangat kentara.

Dan mungkin kelebihannya itulah yang juga kelemahannya terbesar. Saking kreatifnya, Rio selalu punya keingintahuan lebih terhadap hal-hal yang ia tak pahami. Kreatifitas dan kecerdasannya membuat ia seperti tak cukup puas menyelami alam ini. Ia mulai mempelajari berbagai peristiwa kebatinan. Sayang sekali. Padahal kalau Rio sedikit saja serius dan menggunakan bakatnya ia pasti sukses. Mungkin ia bukan hanya manajer pelaksana seperti sekarang, mungkin ia sudah jadi board director atau bahkan punya perusahaan sendiri.

Tapi sejak tertarik kebatinan, Rio mulai gemar menyendiri, merenung, membaca berbagai buku kebatinan dan menulis. sesuatu yang sebelumnya jarang sekali ia kerjakan. Beruntung ia masih shalat dan tidak bertindak aneh-aneh. Ia juga masih, atau bahkan makin menarik. Rio seperti terkena terkena kutukan untuk terus melakukan pencarian, walau tujuannya semakin lama semakin kabur. Aku jadi teringat pada buku cerita yang pernah dipinjamkan Rio padaku; isinya tentang demam emas yang melanda para imigran Irlandia di Amerika. Mereka rela melakukan perjalanan jauh, bekerja membanting tulang, hidup menderita bahkan mati merana demi impian menemukan sebuah kota emas legenda, ELDORADO. Waktu itu, seperti biasa, Rio menceritakan persepsi nya tentang cerita itu. ELDORADO menurutnya hanya kiasan yang menunjukan obsesi seorang manusia, sekali manusia terobsesi oleh sesuatu ia akan rela menderita untuk mengejarnya; walau obsesinya mungkin hanya sebuah legenda. Menurutnya ELDORADO bukanlah kota emas, melainkan impian dan cita-cita.
Aku ingat saat itu langsung berkata; “ Rio, aku juga punya persepsi tentangmu. Menurutku kamu juga punya ELDORADO milikmu sendiri.”
Aku juga masih ingat jawabanmu; “sayangnya, Tris (ini panggilan sayangnya untukku) saat ini aku masih mencari apa yang akan menjadi ELDORADO ku itu..” Tak apa Rio, aku yakin suatu saat kau akan menemukan tujuan hidupmu itu.

Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Wulan, Tresna Tiarawulan lengkapnya. Aku kenal Rio sejak kami masih duduk di bangku SMP. Waktu itu Ia tergolong kecil untuk anak seusianya, tapi semua teman-teman kami menghormatinya karena dia cerdas dalam pelajaran dan tak sungkan berbagi ilmu. Ia seperti tak pernah mengalami kesulitan di kelas, walaupun sehari-hari kerjaannya hanya bermain saja. Rio penyendiri, tapi ia juga disukai banyak teman karena santun dan berani.

Aku sendiri mengingatnya sebagai anak yang emosional; sangat gemar mencari kebenaran. Mudah marah kalau ada sesuatu yang salah, dan juga menangis kalau iba atau terharu. Ia juga pendengar yang baik, karena itu ia cocok dengan aku. Aku pembicara yang antusias..crewet begitu selalu candanya.
Kami sangat dekat. Sering bermain bersama, jalan bareng dan saling berkunjung ke rumah masing-masing. Teman-teman dan keluarga kami bahkan sering menggoda bahwa kami pacaran. Rio biasanya hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan; tapi hatiku selalu berbunga-bunga. Walau sangat berharap, aku tahu Rio bukan belahan jiwaku. Ia selalu santun dan penuh kasih padaku, tapi mungkin itu pembawaannya yang anak bungsu, yang selalu merindukan seorang adik.
Rio terasa tak terjangkau olehku. Pola pikir dan tindakannya yang tak terduga selalu meyakinkanku bahwa ia adalah calon orang besar, yang tak sebanding denganku. Dan sepertinya… ia menyadari hal itu.

Kami terus dekat walau SMA kami berbeda. Ia masih sering main ke rumahku walau aku tak di rumah. Begitu pula aku. Beberapa kali aku mendengar kabar ia berpacaran dengan gadis lain. Wajar saja, sejak masuk SMA tubuhnya berkembang pesat. Kini ia tinggi, ramping dan atletis; pasti banyak wanita yang menyukainya.
Awalnya aku cemburu, tapi kemudian aku malah mendukungnya. Aku hanya berharap dia bahagia, dan selalu tertawa, sebab tawanya membangkitkan kebahagiaan luar biasa bagiku. Apalagi setelah ayahnya meninggal saat kami baru naik kelas 2 SMA, Rio jarang tertawa lepas. Aku benar-benar berharap ada gadis yang mampu membuatnya kembali tertawa lepas. Sebab aku merasa tak mampu. Sayangnya Rio jarang serius dalam hubungannya, berkali-kali ia gonta-ganti pacar, jarang yang lebih dari sebulan. Biasanya kalau malam minggu ia datang ke rumahku, berarti ia sedang kosong atau baru putus.

Aku sendiri sudah punya kekasih. Mas Rafli sudah jadian denganku sejak aku kelas 2 SMU, sejak aku sadar tak boleh mengharapkan Rio. Repot juga awalnya menjelaskan kedatangan Rio pada Mas Rafli, tapi orang tuaku membantu dengan mengatakan Rio adalah saudara misanku. Rio kelihatan tak nyaman, tapi tak bicara apa-apa. Di ulang tahunku ke delapan belas, Rio memberiku hadiah puisi yang ditulis diatas bandul kalung dari stainless steel, judulnya; my eldorado. Sampai saat ini bandul tersebut masih menggantung setia di leherku, walau tak pernah kupamerkan.
Lucunya, walaupun kedengarannya tak adil, aku semakin mengharapkan kedatangan-kedatangan Rio ke rumahku, hampir sebesar harapanku akan kedatangan Mas Rafli.

Keterikatanku pada Rio dan sebaliknya semakin mendalam walau kemudian kami berpisah untuk kuliah. Bahkan Rio sempat memintaku untuk menjadi kekasihnya, hanya beberapa saat setelah aku menerima pinangan pertunangan dari Rafli. Aku sempat tergoda, sangat tergoda, janji Rio untuk menemui orang tuaku dan langsung melamar. Aku, terus terang sangat ingin bersatu dengan Rio, itu keinginanku sejak dulu. Tapi sebuah kesadaran yang menyakitkan mencegahku mengiyakan. Aku bahkan masih ingat jawaban di sela-sela isak tangisku.

“Rio, aku ingin jadi kekasihmu, tapi aku tak berani menjadi pasanganmu..aku hanya akan menjadi beban, aku hanya akan membelenggumu ke bumi saat seharusnya engkau bisa terbang ke langit tertinggi.”

Sejak itu Rio semakin menjauh dariku. Tidak secara fisik; ia masih tetap ramah, selalu mau mendengar keluh kesahku, dan tetap perhatian. Rio juga tetap sering datang ke rumah orang tuaku, tentunya untuk bertemu mereka, bukan lagi menyambangiku. Rio bahkan tetap datang saat aku dan Mas Rafli bertunangan saat aku lulus SMU. Tapi aku tak bisa memungkiri ada yang berubah dari Rio. Ia tak lagi menceritakan mimpi dan harapannya padaku, ia tak lagi berusaha menjelaskan alasan-alasannya melakukan tindakannya. Rio semakin membebaskan diri dari keterikatan padaku dan sekitarnya. Saat itu aku tahu, Rio sudah mulai mencari ELDORADO nya dan semakin tenggelam dalam pencarian.

Aku pun melanjutkan hidupku. kerja serabutan sambil terus melanjutkan studi. hidupku tanpa Rio terasa aman dan tentram, Mas Rafli terus mendukung dan membantu aku. ketenangan dan keteguhannya menjadi penopangku untuk terus maju. perlahan aku menyelesaikan studi dan mulai mempersiapkan pernikahan kami, tapi rasanya sesuatu hilang dari kehidupanku. variasi dan kejutan-kejutan dalam hidup rasanya hambar, tidak ada lagi bahaya, ketegangan dan gelora semangat yang kurasakan saat Rio masih berada disekitarku.
aku bosan.

kebosanan itu yang menyebabkan pengalaman melamar pekerjaan menjadi suatu yang istimewa. Hari pertama melamar pekerjaan sangat menegangkan. rasanya aku kembali hidup dalam tantangan. tantangan berpenampilan baik, tantangan mendapatkan pekerjaan dan tantangan mengalahkan para pesaingku. aku baru saja mendapat jawaban dari puluhan lamaran yang kuajukan. Salah satu yang paling menarik dan bagus adalah dari Bentarawisata, sebuah perusahaan yang cukup besar bergerak di bidang Pariwisata. Menarik karena cocok dengan background ku yang lulusan akademi pariwisata dan S1 bahasa Perancis.
Hari selasa siang aku sudah bersiap-siap untuk ‘mempesona’ pewawancaraku. Baju kerja rapi, lengkap dengan blazer dan celana panjang yang membuatku tampak kompeten. Rambutku sudah di creambath pagi-pagi tadi. Hitam mengkilat. Panjang dan sensual itu komentar Mas Rafli setiap membelai rambutku.

Jam 14.30, aku dijanjikan melakukan wawancara dengan pimpinan Bentarawisata. Ini kesempatan emas, baru beberapa minggu lulus kuliah aku lamaran pekerjaanku sudah dijawab.

Tepat setengah jam sebelum waktu yang ditetapkan aku sudah tiba di depan pintu kantor itu. Gedung berlantai tiga itu tampak sederhana, pintu kacanya jelas bukan pintu baru tapi dirawat dengan sangat baik. Bersih dan rapi. Mendaki tangga berundak lima, aku disambut ruang tunggu yang nyaman. Satpam sekaligus resepsionis tersenyum dan menegur ramah.
“selamat siang, bisa dibantu, ibu?”
“saya ada jadwal wawancara dengan bapak Jatmiko, HRD bentarawisata?”
“oh, silahkan diisi buku tamu dan boleh saya minta kartu pengenal? Untuk ditukar ID card pengunjung maksud saya?” tersenyum lagi si satpam.
Sopan dan efisien, aku merasa dimanusiakan. Tanpa ragu aku ulurkan KTP ku. Satpam itu memeriksa sebentar lalu menyerahkan kartu pengunjung padaku.
“silahkan langsung ke ruang tunggu di lantai 2, bu.”
Ruangan kantor yang ditata apik membuatku merasa nyaman. Berbagai suvenir terserak di meja dan lemari kaca yang mengelilingi ruang itu, sebuah ruang berlantai granit berwarna cerah.
Di atas sofa berwarna merah lembut, duduk beberapa pelamar. Aku jadi merasa berada di etalase salon atau peragaan busana. dua wanita yang duduk di sofa itu lebih tepat kalau disebut model daripada pelamar kerja. Aku yang sudah berdandan habis-habisan tetap saja minder berhadapan dengan mereka.
Wajar saja sih, kerja dibidang pariwisata berarti juga berhadapan dengan orang-orang lain. Berarti kecantikan juga asset. Melihat bagaimana mereka berdandan aku merasa kesempatanku bekerja disini semakin kecil. Tapi, masak aku harus takluk sebelum bertanding? Maju terus…
Aku tersenyum pada mereka dan duduk di sebuah kursi lipat, sejauh mungkin dari mereka, supaya percaya diriku bisa kupulihkan sebelum wawancara. Kupandangi sesaat ruangan berpintu kaca satu arah yang hanya berjarak 5 meteran di depanku. Rupanya disana kami akan di wawancara.

Kuputuskan menunggu dengan tenang. Dari dalam tas aku keluarkan novel karya pengarang bestseller, Sang Agni. Ini novel kesukaanku. Entah kenapa aku, dan ribuan orang lain tentunya, tergila-gila membaca novel-novel sang Agni. Entah cara penulisannya yang istimewa, atau karena kemisteriusan orang itu.
Tokoh-tokohnya selalu penuh karakter dan mempesona. Selalu misterius sekaligus membuat aku merasa mengenalinya.
Aku jadi fansnya sejak buku pertama kubaca. Minggu lalu bahkan aku menitipkan buku pada seorang temanku, wartawan ibukota yang katanya kenal dengan Sang Agni, untuk minta tanda tangannya. Buku itulah yang kubawa. Buku yang sangat berharga bagiku, buku dengan tandatangan Sang Agni.
Aku pikir dia pasti orang luar biasa. Buku buku karangannya sukses besar. Banyak diantaranya yang bestseller. Dari hasil bukunya dia pasti kaya raya tapi sang pengarang sendiri tak pernah diberitakan.. Dia unik, sekaligus menarik luar biasa menurutku.

Didahului desiran pintu terbuka, mendadak seorang laki-laki kurus jangkung keluar dari ruangan kaca disertai wanita muda berjilbab yang cantik. Tingginya mungkin tak sampai 160 centi, tapi saat ia tersenyum wajahnya seolah memancarkan sinar. Dia cantik sekali. Wanita muda itu bersalaman dengan lelaki itu, lalu membalik dan berjalan kearah luar. Sebelum menutup pintu dibelakangnya, ia mengerling kearahku dan tersenyum ramah.
Bahkan bagi aku yang seorang wanita, Dia cantik sekali..
Kepercayaan diriku semakin menipis, dan entah kenapa aku merasa cemburu padanya..

Sementara si lelaki jangkung itu membaca kembali daftar ditangannya dan memanggil calon berikutnya.
“Tantri Wowilling, silahkan masuk”
Ternyata yang bernama Tantri Wowilling adalah wanita tinggi yang duduk tepat di depanku. Bajunya modis, dilengkapi scarf dan celana panjang membuat ia tampak efektif dan efisien. Rambutnya panjang diikat dibelakang lehernya yang jenjang. Kulitnya putih mulus, kontras dengan kemeja merah yang dikenakannya. Penampilannya sempurna, gadis kelas tinggi.
Dengan kepala sedikit diangkat dan senyum tipis, tantri melewati Lelaki jangkung itu, yang kemudian menyusul dibelakangnya.

Menunggu memang membosankan. Maunya aku, waktu ini bisa kuhabiskan sambil bercakap-cakap, maka aku sapa wanita yang duduk di sofa.
“halo, anda pelamar juga? Saya tresna..”
“halo,” ia tersenyum tipis.”saya Clara.”
Setelah menjawab ia kembali menekuni majalah yang dibawanya. Aku jadi sungkan menegurnya, ia tampak tak mau diganggu.
Wanita yang bernama Clara itu lumayan cantik. Make upnya bagus, menonjolkan hidungnya yang bangir dan matanya yang lebar. Rambutnya yang tebal dan kelihatannya di cat merah itu, panjang dan bergelombang. Kalau aku ditanya, rambut itu pastilah pesona utama yang dimiliki Clara, tentu saja kalau laki-laki yang ditanya mungkin jawabannya berbeda. Mungkin mereka bilang daya tarik utama adalah belahan dada yang seolah dipamerkan dibalik blazer berleher V rendah, atau mungkin kaki jenjang putih yang menjulur keluar dari rok ketat yang luar biasa pendeknya. Lelaki biasanya begitu.
Clara ini sensual sekali. Entah apa aku berani memakai baju seperti dia; di dalam rumah sekalipun. Aku pasti terlalu malu keluar dari kamar dengan baju sepertinya.

beberapa menit kemudian, Clara masuk menggantikan Tantri yang langsung melewatiku seolah aku tak nyata. Aku kembali sendirian, maka majalah menjadi temanku. Ternyata majalah yang disimpan di bawah meja itu tidak terlalu basi. Lumayanlah, menambah sedikit pengetahuan.
Serasa berjam-jam kemudian baru lelaki jangkung itu memanggilku. Didalam hanya ada sebuah meja dan 4 buah kursi. Satu di sebelahku dan 3 lagi dihadapannya. Dikursi itu duduk seorang wanita yang tampak ramah. ia tidak terlalu cantik tapi kalau aku laki-laki, aku mungkin akan jatuh cinta padanya. Senyumnya cerah dan menyenangkan. Disebelahnya seorang laki-laki setengah baya, gendut dan tampak lucu. Bersama si laki-laki jangkung, mereka punya kesamaan. Ketiganya tampak ramah dan mengundang percakapan.

Wawancara berlangsung panjang dan menyenangkan. Di akhir wawancara kami sudah seperti teman akrab. Aku tak lagi khawatir tentang diterima atau tidak, sepertinya aku mendapat teman. Iri juga rasanya melihat bagaimana mereka bisa mengakrabkan diri dengan orang asing sepertiku, dalam hitungan menit. Ini kualitas yang penting untuk seorang pekerja bidang pariwisata. Wah, andai aku bisa seperti mereka..
Wawancara selesai. Mereka berjanji memberitahukan aku hasilnya segera setelah diputuskan. Katanya sore ini, supervisor mereka datang untuk memutuskan.

Aku keluar kantor itu agak tergesa. Begitu pintu luar kubuka, hangat siang jakarta menyerbuku, mengusir dinginnya udara AC yang mengembun di blazerku. Sambil mengibas-kibaskan baju luar aku menuruni tangga.
Harus aku akui, peluangku rasanya kecil. Tiga kandidat yang kutemui sepertinya kaulifikasinya ada diatasku. Paling tidak kecantikannya. Wajah-wajah putih mereka seperti menggores dalam ingatanku, sulit sekali kulupa. Tiba-tiba perasaanku mengatakan ada seseorang menatapku, maka kuangkat kepala. Mataku bertumbukkan dengan sepasang mata coklat tua. Mata yang tak mungkin kulupa. Rio.
Saat itu, semua bayangan mengenai pekerjaan, wawancara, kesempatan dan tiga gadis cantik yang baru saja kutemui musnah…

” halo, tris..”
Rio masih kelihatan sama. Ia sedikit lebih gemuk dan sedikit lebih rapi. Tapi dia masih Rio ku yang dulu. atletis tapi kekar. Matanya masih tajam, sapaannya mesih lembut. Rambutnya belum juga teratur, dan Senyumnya masih mempesona, indah dan menyimpan misteri. Aku terpesona cukup lama, memandangi matanya yang masih memandangiku.
”lama kita tak ketemu tris, bagaimana kabarmu?”
”ba..baik, yo..aku agak kaget ketemu kamu”
”aku juga, tapi aku jadi sangat bahagia”
”masih juga perayu, kamu..”
”Selalu, Tris.. kamu sudah kawin?”
”Belum, tapi hampir.. kamu?”
”belum..belum juga hampir..”
Angin seperti berhenti bernafas untuk mencuri dengar percakapan kami. Lalu lalang disekitar jalan raya itu kehilangan bisingnya. Telingaku seperti terfokus hanya pada frekuensi suaranya. Kami berdiri sambil bercakap di depan tangga itu cukup lama. Pertemuan itu bisa kebetulan, takdir, nasib, keberuntungan atau apapun. Tapi jelas kuharapkan.
” Tris, maukah kamu makan siang denganku? Sebentar saja..”
” dimana?”
” dekat sini ada rumah makan kecil yang nyaman. Cukup ramai tapi tak terlalu..”
” boleh, aku juga kelaparan, yo..”
Kami mulai melangkah menyusuri trotoar tak berkata-kata. Kediaman terasa menyenangkan bersama Rio. Detak sepatu kami yang menyentuh aspal seperti puisi indah yang berulang-ulang menyanjung pertemuan kami.
Saat itu aku sadar, aku masih;dan akan selalu; cinta pada lelaki yang berjalan disisiku. Aku merasa menghianati tunanganku, tapi daya tarik Rio mengalahkan sesalku.

”disini, Tris.” Rio menarik lenganku dengan jari telunjuknya, seperti biasa dilakukannya. Ia mengajakku masuk ke sebuah restoran padang kecil yang cukup bersih.
Kami duduk di sudut, membelakangi TV yang sedang menyiarkan lagu-lagu dangdut.
”Sekarang kamu bekerja dimana Tris?”
”Aku baru lulus, saat ketemu kau aku baru melamar pekerjaan..”
”di biro pariwisata itu?”
”ya.. kamu sendiri?”
”aku bekerja juga di biro itu, Tris. Aku surveyor..penjelajah yang bertugas menyiapkan infrastruktur dan kelengkapan suatu daerah, sebelum di launching jadi tempat wisata. ”
”wah, kedengarannya sulit..”
”biasa saja.. mudah-mudahan kamu diterima, supaya aku bisa lebih sering melihatmu Tris. ”
percaya atau tidak, pipiku memerah. Lidahku terasa kelu, untung Rio menoleh dan menegakkan tubuhnya. Seorang pelayan datang untuk menghidangkan makanan di meja kami. Aku mematikan handphoneku. Walau meja kami penuh hidangan, kami terlalu sibuk dengan kenangan, pikiran dan perasaan yang menggenangi pertemuan itu sampai tak teringat untuk makan..

Usai makan ia mengajakku berjalan-jalan dan menonton film komedi di bioskop. Persis seperti waktu lalu. Rasanya begitu banyak yang ingin dibicarakan dan begitu sedikit waktu yang ada. Rio masih seperti dulu, setiap gerakannya terukur dan membuatku ingin terus bersamanya. aku tak bisa bohong pada hatiku, Rio adalah cintaku.

waktu yang beranjak tak terasakan. dipenghujung senja, Rio menggenggam tanganku dan bertanya:
"Tris, kenapa dulu kau menolakku?"
matanya menatapku tajam. aku tergagap..sejenak aku ingin berteriak. aku ingin bilang padanya aku menyesal berkata itu.
"Kenapa Tris?"
"A..aku..seperti yang aku bilang.. aku merasa tak sepadan denganmu"
"Apa.. masalah ELDORADO ku?"
"ya.." Aku sedikit terganggu dengan kedekatan wajahnya. matanya menatap langsung mataku. "Apa kau temukan ELDORADO mu itu?"
Mendadak Rio membuang pandangannya. Ia melangkah menjauh dan bergumam keras-keras. seperti ingin bercerita padaku.
"bertahun tahun aku mencari ELDORADO ku. Sesuatu yang bisa membuatku merasa berharga, sesuatu yang membuatku bisa berperan dalam percaturan dunia. Sesuatu yang membuatku merasa berkuasa.
bertahun tahun aku membuang umurku.
Aku membuang umurku tapi akhirnya aku menemukan ELDORADO, sayangnya saat itu semua terasa tak berharga. kekuasaan, kekayaan tak membuatku puas. Aku baru sadar telah salah jalan. Aku mencari ELDORADO, padahal harusnya aku mencari mu..
Dibanding denganmu, semua ketenaran dan kekayaan tak ada artinya.”
Aku terpana mendengar perkataannya. tak sadar aku meraba kalung pemberiannya yang masih melingkari leherku. Rio mendekatiku dan menyentuh kedua belah pipiku dengan tangannya.
“Sejak dulu aku membutuhkanmu, sayang aku terlalu sombong dan dungu untuk mengakuinya”
“Rio…aku..”
“aku memperhatikanmu sejak awal hari ini, Tris.” Rio menatap mataku lembut.
“Aku tahu kau akan tertarik membaca buku tulisan Sang Agni. Aku tahu kau turun agak jauh dari kantor itu – agar kau bisa berjalan kaki menenangkan diri. Aku tahu juga kau berjalan agak jauh agar kau tidak terlihat lesu – pipimu akan memerah dan kulitmu tak terlalu kering. Aku tahu pasti itu. Aku terlalu tahu kamu, Tris.”
Rio menundukkan kepala. Aku diamkan sejenak. Entah kenapa aku masih merasakan sentuhan tangannya di pipiku. Sebuah keinginan gila mendadak menghiasi kepalaku. Aku berharap Rio mendadak menciumku.
Aku membayangkan rasa hangat, dan sensasi liar yang kurasakan jika bibir Rio melumat bibirku. Tanpa sadar aku menjilati sudut bibirku.
“Tris, aku akan beritahu kamu sebuah rahasia…” Rio mendadak mengambil tas yang kusandang.
“Rio..” Aku protes dan mencoba menarik tasku, tapi Rio tak peduli dan malah membukanya. Buku Sang Agni dikeluarkan, dan mendadak dengan gaya khasnya ia menjauh, mengeluarkan pulpen dan mencoret-coret buku itu.
“RIO?!..” kurampas buku itu darinya. Rio hanya tertawa. Sambil merengut, aku periksa halaman buku itu. Masih normal, tak ada coretan tak berarti. Hanya ada dua tanda tangan Sang Agni yang identik, di pojok bawah.
Dua? Tanda tangan Agni harusnya hanya satu…
Rio tersenyum saat aku menatapnya bingung. Dua tanda tangan? Apa artinya?
“aku adalah Sang Agni..”
Perlu beberapa detik untuk mencerna ucapan itu. Dan perlu beberapa detik tambahan untuk menahan tatapan kagumku..”
“Rio, kamu… Sang Agni?”
“iya, “ sambil mendekatiku Rio tersenyum manis. Ia tampan sekali.
“kalau begitu.. kamu ..” aku berhenti untuk mengambil nafas.
“tak bisa dipercaya.. buku ini kesayanganku, dan aku baru tahu kamu yang menulisnya..”
“Dunia memang lucu…”
“Kamu pasti banyak uang sekarang.. selebritis di kalangan penggemar buku da penulis… hebat Rio..” aku memegang lengannya. Mendadak Rio tampak sedih dan mengangkat tangannya menyentuh pipiku.
“secara materi aku memang cukup…. Tapi akan kutukar seluruhnya untuk memiliki kamu, Tris”
Aku tak mampu menjelaskan apa-apa.

“Rio…”
Rio menutup bibirku dengan ibujarinya. Tangannya yang masih melekat di pipiku terasa hangat dan basah. Ia berkeringat. Saat kutatap mata Rio aku melihat setetes air menggumpal disudutnya.
“Sudahlah Tris, aku tahu…aku tak seharusnya bicara itu…kau sudah bersamanya”
“Rio…”
Rasanya sungguh tak adil. Aku suka Rio sejak dulu, dan akhirnya dia sadar bahwa dia menyukaiku. dunia tak adil. aku tak mungkin meninggalkan mas Rafli, dia terlalu baik padaku. Kenapa sekarang Rio menyatakannya…
“Rio..” Aku sandarkan kepalaku di dadanya. Sedu sedanku tumpah membasahi bajunya. Rio merengkuh bahuku dan menegakkan tubuhku.
“Sudahlah Tris. Kita nikmati saja malam ini.”
Kususut mataku. Kupandangi wajah Rio. Bahkan dengan mataku yang diburamkan airmata, tampak jalur-jalur airmata di pipi Rio. Tapi toh mulutnya tersenyum.

Setelah itu kesunyian menyelimuti kami. Airmata seperti macet. Kesedihanku tertekan oleh kegembiraan bertemu dengannya. Rio menggenggam tanganku, dan tak melepaskannya lagi sampai kami berpisah.

Malam itu kami sama-sama tahu, jika esok pagi kami bertemu lagi kami tak akan lagi menjadi sepasang kekasih yang memendam asmara. Kami mungkin jadi teman, sahabat, atau bahkan tak mau kenal lagi. Malam itu kami tahu, esok adalah hari baru untuk kami, Hari dimana kami harus meninggalkan ELDORADO kami, dan menerima kenyataan.
Hingga malam berakhir ciuman yang kuinginkan tak pernah terjadi.

dalam taksi yang mengangkutku pulang, kalung dari Rio kugenggam di tanganku. Malam itu aku pulang terlambat. Di telepon genggamku sudah ada 12 pesan dari tunangan ku, entah nanti apa jawabku padanya.