Thursday

CINTA?

Pertama kali aku melihatnya, saat aku berada di pantai kuta. Buatku sore itu ia adalah sosok paling mengesankan. berjalan diatas pasir putih, disela-sela turis asing yang berjemur setengah bugil dan turis lokal yang bercanda tak habis-habis. Saat itu ia hanya mengenakan kaos putih setengah basah, dan hotpans yang sepertinya terlalu pendek untuk kakinya yang jenjang. Sepasang kaki terindah yang pernah kulihat.
Busana ketat yang digunakan sia-sia menutupi keindahan tubuhnya. Tubuhnya yang ramping dan indah dengan dada yang sehat membusung, bercahaya di sinari matahari merah yang mulai senja. Aku seperti bermimpi melihat bidadari.

Seperti tertarik magnet raksasa, tanpa kusadari aku bergerak mendekatinya. Ingin kusapa dia, tapi ternyata aku terlambat. Bodohnya aku, menyangka hanya aku yang melihat bidadari itu. Si cantik itu jelas terlalu menyolok untuk diabaikan begitu saja. Hanya dua langkah didepanku, ia nyaris tertutup dikerumuni anak-anak pantai. Mereka merubungnya seperti semut menemukan gula.
Aku terhenti di seperempat jarakku.
Dengan anggun dan berkelas, gadis itu menepis godaan-godaan itu. Senyum terus membayang di wajahnya yang cantik. Jelas ia sudah biasa diganggu seperti itu. Si cantik itu lalu berjalan ke arah jalan raya. Aku mengejarnya, kupikir inilah kesempatanku. Ternyata kesempatan itu tak jua tiba. Begitu sampai di jalan raya, sebuah lexus silver manghampiri si cantik. Hanya dalam hitungan detik, ia masuk dan mobil itu melaju menyusuri tepian popies lane.

Saat itu aku sangat menyesal. Aku kehilangan gadis impianku, tanpa sempat menegurnya... Aku berdoa setulusnya dalam hatiku yang berduka, untuk sekali lagi bertemu dengannya. Ternyata doaku dikabulkan lebih cepat dari dugaanku.

tiga malam kemudian di Terrace Club aku bertemu lagi dengan dia. DJ Evan temanku sedang memamerkan kebolehannya, dan aku kebagian free pass gratis. baru saja melewati pintu masuk, pandanganku tertumbuk pada pemandangan yang mencolok mata. Si cantik tengah berdisko di tengah ruangan. Aku sempat tertegun, lalu kuputuskan mencari sebuah meja kosong terdekat. Dari meja itu kuperhatikan gadis cantik itu meliukkan tubuhnya. Kulitnya yang putih bersih berpendar ditimpa gemerlap lampu diskotik itu. Rambutnya diikat diatas kepala, menunjukkan tengkuknya yang dihiasi rambut rambut tipis. Ia menggunakan sebuah jeans low cut yang menempel ketat, sekali lagi kaki jenjangnya tampak jelas. Tetap kaki terindah yang pernah kulihat. Atasannya hanya sepotong tank top merah muda.
kuperhatikan ia menari. tubuhnya padat dan indah. walau ramping tapi lekuk likunya tegas menjelaskan, ia wanita. tingginya mungkin 160 centi, mungkin lebih. Paling tua usianya 25 tahun. Tapi, aku berani bertaruh ia pasti lebih muda dari itu. Hanya saja mata besarnya yang sesekali menerawang membuatnya tampak penuh pemikiran, penuh pengalaman. gaya rambutnya yang disanggul juga membuatnya tampak dewasa. yang jelas, dia cantik sekali. Apalagi kakinya, indah luar biasa…

Beberapa jenak berdansa, ia tampak berkeringat. Bulir peluh menyusuri pipi mulusnya seperti embun. Beberapa malah nakal mengelus leher jenjang yang tampak sempurna bagai porselen. gerakannya menyentak-nyentak, liar, sensual, bebas dan enerjik, tapi di mataku semua gerakannya seperti terkendali sempurna. Aku coba mencari pasangan dansanya, tapi aku bahkan tak yakin dia datang bersama seseorang. Si cantik terus berganti-ganti pasangan. sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan, semua lelaki didekatnya seperti bergantian ingin berdansa dengannya.

Mendadak musik berhenti. orang-orang bertepuk tangan. kulihat ia sibuk membebaskan diri dari beberapa pria yang mencoba menarik perhatiannya. ia menampik dengan ramah, tetap tersenyum. si cantik itu melangkah ke pinggir, menuju kearahku. Aku berdiri dari kursiku dan mencoba menarik perhatiannya; tapi saat pandangan kami bertemu, aku kehilangan kata-kata.
Gadis cantik itu tersenyum. matanya melekat di wajahku. aku kehilangan kata-kata.
dibelakangnya 2 orang asing yang setengah mabuk mengekor si cantik. mereka terus berusaha berkenalan. saat jarak kami tersisa dua meteran, si cantik berbalik dan berkata tegas pada dua orang yang mengikutinya:
" stop following me, I'm with him ", si cantik menunjukku. kedua bule itu berpandangan, dan mengangkat bahu. saat mereka berbalik pergi aku mendengar bisikan mereka, disela musik yang mulai menggema kembali.
"lucky bastard.."
dan aku nyaris tersenyum.

Si cantik membanting tubuhnya di kursi sebelahku. ia memandangku sekilas, dan membagikan senyuman mautnya.
" maaf, aku pakai kamu jadi alasan.. bule itu nyebelin banget."
" its okay, mau minum?"
" boleh juga." ia bangkit dan memandang berkeliling mencari pelayan. tubuhnya meliuk saat berusaha melambai memanggil pelayan. aku memandangnya penuh-penuh. gerakannya luwes dan wajar sekali. aku terpesona. saat sang pelayan tiba, si cantik memesan orange squash. Aku memesan Sunrise lagi.

Si cantik duduk di sebelahku memandangi lantai dansa. kucoba mencari perbendaharaan kata-kata rayuan, paling tidak pembukaan untuk kenalan, tapi otakku seperti macet. Akhirnya aku meniru tindakannya. Evan memang jago. perpaduan beat music house dan hip hop bisa diramu menjadi musik yang memaksa seluruh tubuh ingin bergoyang.
" kita pernah ketemu di pantai ya?," tiba-tiba si cantik menoleh padaku.
" a..apa.. oh iya. iya.. kamu tahu saya disana?"
" iya, " ia terkekeh, " kelihatan sekali... lo berhenti jalan, terus ngeliatin "
" oh.." aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. mukaku terasa panas. dia ternyata tahu aku terpesona padanya. dia tertawa kecil melihat aku salah tingkah.
" santai aja, makanya tadi gue putusin ke tempat elo. kayaknya elo orang baik, pasti mau nolong gue."
pelayan datang mengantar pesanan kami. si cantik mengucapkan terimakasih, dan aku selipkan tips di tangan si pelayan. si cantik meminum squashnya. kembali musik mengisi keheningan antara kami.
" boleh gue tahu nama lo? " akhirnya aku tak tahan untuk bertanya.
" boleh.. " dia menoleh dan tersenyum. terus menatapku sambil tersenyum, si cantik tak melanjutkan kata-katanya.
" jadi.., siapa dong?"
" hihihi, tebakan gue kalau di luar muka lo pasti merah.."
- sialan - rupanya dia menggodaku. kepalang basah, aku maju terus.
" nggak apa deh, cela aja terus.. asal kasih tahu nama lo."
" nama lo dulu.."
" panggil aja Deni," aku mengangsurkan tangan. si cantik menyambut tanganku dan menggenggamnya. tangannya lembut dan hangat. kulitnya terasa halus sekali. terawat .. aku menunggu dia melepaskan tangan, tapi dia malah menjabat lebih erat. aku sendiri merasa sayang melepas tangannya, tapi kuusahakan tidak meremas atau ragu-ragu. pura-pura biasa aja, padahal jantungku rasanya berdegup dua kali lebih cepat.
Si cantik tidak berkata, senyumnya hilang. dia menatap mataku serius sekali. aku jadi gugup.
" jadi namamu siapa?"
" Nina, panggil aja Nin..," senyumnya merekah lagi sebelum dia melepaskan tangannya. aku beranikan bertanya lagi.
" sering disini, Nin?,"
" Emang kenapa? kalau aku sering disini kamu mau datang terus? ", ia tertawa menunjukkan gigi yang teratur rapi.
aku cuma bisa menjawab sejujurnya..
" iya..", aku tidak tersenyum.
Si cantik, yang bernama Nina itu sejenak memandang wajahku. senyumnya lenyap. sesaat.. hanya sesaat. ia kembali tertawa.
" wah, gua harus minta fee sama manajemen, nih ... hahaha ",
ia berdiri dan melangkah kesampingku. Nina menunduk dan berbisik di telingaku, mengalahkan deru musik yang berdentang. tangannya melingkari bahuku. rasanya aku mencium harum channel no 5 dari tubuh si cantik ini.. bahkan keringatnya pun berbau sedap bagiku.
" nggak usah maksa," bisiknya, " gue jarang kesini, cuma iseng aja.."
setelah itu Nina melangkah kearah pintu.
" Nin, bisa gue ketemu elo lagi? " aku mengejarnya dan memegang lengannya. Nina menoleh dan melepas peganganku perlahan. wajahnya terlihat serius. kali ini dia tak tersenyum, menatap mataku.
" hanya kalo kita beruntung, den.." ia menyentuh tanganku sebelum berbalik menuju kerumunan orang di pintu keluar. sesuatu dalam pandangannya mencegahku mengikutinya. aku termenung beberapa saat sebelum kembali ke mejaku.
- paling tidak aku tahu namanya -
" Nina, namanya Nina ", ku gumamkan kata-kata itu bagaikan mantra...

----
Aku tak bisa lagi melupakan dirinya sejak itu. Buatku Nina menjadi obsesi sekaligus pembanding. Gayanya yang santai dan manja, walau hanya bertemu sebentar, telah merampas hatiku.
Aku mulai berandai-andai dan menduga-duga; siapa sebenarnya Nina. Kalau dilihat dari mobil yang menjemputnya, pakaian yang ia kenakan dan perawatan tubuhnya pasti dia orang kaya. Yah… kulit mulus dan indahnya pasti butuh dirawat, atau paling tidak dicukupi gizinya. Belum lagi rambut terurai panjang yang kelihatan halus mengkilat. Pasti ia orang kaya.
Tebakanku yang pertama, Nina adalah seorang eksekutif kaya dari perusahaan asing yang skalanya internasional. Dari cara Nina dugem di malam hari, ia tampak mandiri, cuek dan santai; khas wanita yang sering bergaul atau malah dibesarkan dalam budaya barat.
Tebakanku yang kedua Nina adalah anak orang kaya yang dimanja. Tapi melihat wajahnya, terutama mata hitamnya, aku ragu dengan perkiraan keduaku ini. Matanya terlalu dewasa untuk seorang anak manja.

Apapun dugaanku, aku benar-benar ingin bertemu lagi dengannya.

tiga minggu kemudian aku melihat Nina. kali ini di sebuah pameran lukisan kontemporer milik Ariaguna, perupa asal Jogja. Aku melihatnya hanya sekilas. Nina tengah menggandeng seorang asing bertubuh besar menuruni tangga. Kucoba mengejarnya tapi hanya berhasil menciumi debu yang berterbangan saat Mercedes hitam yang membawanya berlalu.
sejak itu aku melihat dia dimana-mana. di mall, di plaza, di cafe, ditoko buku, dikantorku. setiap aku melihat seorang wanita dengan kaki jenjang indah, aku kelirukan dengan dia. setiap aku melihat wanita berambut panjang halus, aku kira dia. aku mulai melihat Nina dimana-mana.

Aku seperti gila. aku pikir aku jatuh cinta, tapi temanku Agus punya pikiran berbeda.
Ia pikir tak mungkin hanya karena wanita aku bisa kehilangan kendali seperti ini. dasar orang indonesia, ia langsung menghubungkannya dengan hal-hal mistis. menurutnya aku kena guna-guna. dalam rangka menyembuhkan aku suatu sore di malam pertama bulan agustus ia mengajakku pergi ke rumah seorang "pintar" yang sudah cukup ternama.

aku diajak pergi ke daerah Sukabumi, tepatnya ke arah Cimande. dari depan sebuah ruko, Agus mengeluarkan HP dan menelpon seseorang. bahasa sunda rupanya.. bahasa ibu Agus rupanya berlaku di daerah ini. tak berapa lama muncul dua orang berkendaraan motor, rupanya inilah pengantar kami.
Lewat jalan kampung yang berliku-liku dan berbatu kasar, kami diantar ke sebuah rumah kayu yang ramai, tapi berkesan tak terurus. di beranda tampak belasan orang menunggu seperti dalam antrian dokter. dengan sumringah, si pengantar kami mengumumkan:
"ieu dah, imah kiai Ragasambada, mangga.."

sambil menunggu, kuhitung waktu yang dihabiskan untuk tiap pasien. dua orang sampai 30 menit. didepanku ada hampir 14 pasien, sial.. ini bakal jadi hari yang menyebalkan.
belum lagi disebelahku, Agus dengan pede menceritakan segala yang ia tahu dari kata orang lain tentang kehebatan orang yang kita datangi. suaranya benar-benar mengganggu syarafku, maka aku putuskan untuk membayangkan sesuatu yang indah. Nina misalnya...

mendadak bayangan orang orang mengantri hilang dan aku berada di kuta kembali.
Aku berjalan dipasir yang hangat menuju ke arah sekelompok orang. Aku melihat Nina diantara mereka. Ia tiduran di pasir pantai dengan beralaskan sebuah handuk besar. tubuhnya yang putih dan indah hanya mengenakan bikini biru muda. kakinya yang, panjang, putih halus dan luar biasa, setengah tertekuk mengarah ke pantai. bahkan tumitnya yang dikotori sedikit pasir tampak sempurna..
tangannya diangkat lurus keatas kepala, membuat dadanya terangkat. indah membusung. pemandangan yang membuatku menelan ludah denganberat.
seakan mendengar aku menelan ludah, tiba tiba dia menengok ke arahku dan tersenyum. dia tahu keberadaanku, dan sepertinya.. semoga.. dia menungguku.
seperti tersedot oleh pesonanya aku melangkah kearahnya, dan menjatuhkan diri begitu saja di sebelahnya. aku perhatikan wajahnya yang tirus dan dihiasi kulit kemerahan. aku perhatikan rambutnya yang halus, terurai melingkari wajahnya seperti aurora menghiasi gerhana. ia membuka kaca mata dan balas menatapku. matanya.. aku tenggelam dalam sorot matanya.
dan saat bibirnya yang merah membasah itu mereka, aku tahu apa yang diinginkannya.

saat kutundukkan wajahku mendekati wajahnya.. aku disadarkan dari lamunanku oleh tarikan tangan Agus yang nyaris membuatku tersungkur dari kursi.
"ayo, jangan ngelamun aja.. giliran kita nih"
dengan setengah terlongong, aku menurut saja saat di tarik masuk. sialan, sia memotong khayalanku pada saat yang kritis..

ternyata rumah itu gelap bagian dalamnya. hanya ada dua ruangan dan sebuah ruang tertutup kecil yang mirip kamar mandi. kami masuk ke salah satu ruangan besar dan ditinggalkan dipintunya.
Kami melangkah masuk.. Agus membungkuk dan menariku agar membungkuk juga. tapi aku tepiskan tangannya, mataku mengerjap membiasakan diri dengan ruangan yang suram dan penuh asap menyesakkan. apek tapi agak manis. hidungku mendadak tergelitik, sepertinya aku tahu bau ini.. aku lupa.. tapi aku yakin aku tahu.

"mbah, ini kawan saya yang saya ceritakan kemarin...", Agus mulai berbicara.
lucu juga melihat kawanku membungkuk bungkuk di depan seorang berewok sebaya kami. dia panggil mbah pula..
Si berewok memakai pakaian pangsi serba hitam. rambutnya yang gondrong disekap oleh uket bermotif batik yang dipasang sembarangan. dia duduk agak jau dari kami.
Agus menarikku duduk di depan si berewok yang memasang gelar keren, kiai RagaSembada. versi Agus, si Mbah yang belum tua dan Kiai yang aku yakin bukan orang Islam ini adalah dukun sakti yang sudah terkenal, kasusra ing jagadrat.

si Mbah bergeming di dalam duduknya. kami duduk di depannya selama hampir 5 menit. kakiku mulai kesemutan bersila diatas tikar pandan kotor itu. Kuperhatikan dia bergerak lambat, dan menengok ke arah kami.
"Aku tahu.. coba ceritakan mau kalian"
"iya mbah, ini teman hamba yang kena guna-guna itu.."
"ah, wanita? "
tentu saja wanita - memangnya sesama pria? si mbah ini asal tebak saja.
"iya mbah."
"mudah kalau begitu, biar mbah tangani.."
sejenak kemudian si mbah itu kembali berdiam. kuperhatikan ia duduk ditempat yang lebih tinggi, dari arah belakangnya terasa seperti ada angin semilir ke arah kami, baunya harum apak. apa si mbah pakai kipas angin? wah kalau dia kentut kan gawat. baunya menuju ke kami pasti. secara tak sadar aku mengurangi frekuensi nafasku.
"Coba kamu suruh temanmu bayangkan wajah si wanita. Aku ingin tahu wjahnya"
Agus langsung menowel tanganku. matanya melotot sambil memberi isyarat..
Sialan.. membayangkan Nina adalah hal paling mudah kulakukan saat ini, tapi aku sudah teringat asap ini berbau apa dan aku jadi ingin tahu permainannya..
"baik mbah" kali ini aku menjawab..
"mbah akan kirimkan bayangan pada temanmu.."
"di wajahmu aku lihat lapisan tipis seperti topeng, kamu tersirep ajian Kodoknganten.. wanita ini benar-benar menginginkanmu"
aku mau tertawa rasanya. badanku riang rasaku senang..
kodoknganten..huah.. aji sirep apaan..
disebelahku, Agus tampak seperti tertidur, matanya terbuka tapi cahayanya hilang.
aku lihat si Mbah mulai merapal, atau membaca? aku melihatnya memegang selembar kertas sambil sesekali melirik kami. Tiba-tiba pandanganku mulai bergelombang dan berdenyar.. aku mulai merasa sangat santai.
Aku mati matian mencoba bangkit, tapi kakiku seperti tak menurutiku. sialan..
dan tiba tiba saja semua kata katanya masuk akal. aku menikmati kata-katanya, dan seperti tercebur di awan cahaya aku merasa hatiku mengambang mengikuti aliran warna yang berpusar disekitarku. nyaman sekali rasanya.

Ketika sadar, aku dan Agus tengah duduk di kursi tunggu di ruangan besar satunya. disebelah kami beberapa orang juga tengah menunggu. beberapa tampak baru sadar dari mimpi, sama seperti kami. yang lainnya telah bersiap siap pergi setelah meminum teh yang disuguhkan asisten si Mbah dan membayar ke asisten yang satunya lagi. Aku mengerjap perlahan dan mengumpulkan kesadaranku.
Saat aku berhasil pulih sempurna, aku dan Agus tengah berjalan menuju ruko tempat kami memarkir mobil kami.

"gimana man? hebat kan tuh si mbah? emang orang sakti dia.."
"sakti gimana gus?"
"dia ngobati orang hebat sekali.. aku pernah lihat orang sakit kaki sampai jerit jerit, 10 menit didalam jeritannya hilang dan bahkan pulang jalan sendiri..'
"cuma sakitnya hilang, gus.."
"iya itu dah.. dia sakti abis.."
"kata aku sih kita ditipu."
"ditipu? wah ati ati lo ngomong. dia bisa aja tahu.. dia sakti banget" Agus tampak ketakutan, dan langsung menggerutu.
"lo bayar berapa dia?" tanyaku keras.
Agus masih menggerutu, tapi ia tetap menjawabku.
"lo parah lo.. udah ditolongin..gue bayar 200 ribu.. harusnya lo nggak ngomong gitu."
"kita ditipu.."
"waduh, ditipu bagaimana? elo sekarang kan udah nggak mikirin cewek itu lagi.. tadi aja pas dia bilang elo tidur, lo langsung tidur..sekarang lo udah sembuh. udah disembuhin dia.."
"Gus denger gue, elo ditipu.. Asap dalam ruangan itu asap candu.. kalau kita hirup itu kita jadi punya halusinasi mengikuti kata-kata dia. "
"Candu?"
"Iya.. ada kipas angin dibelakang dia, jadi yang terpengaruh cuma kita..dia tetap sadar"
"candu?"
"iya opium atau ganja atau campuran khusus. pokoknya itu obat deh, drugs!.. itu trik lama gus.. udah deh nggak usah lagi percaya yang gitu gitu."
Seperti orang bodoh Agus terus mengulangi kata candu. Tampangnya campuran kesel malu dan marah, bloon banget pokoknya. Tampaknya dia marah besar, wajar sih, apalagi katanya ini adalah kunjungannya ke 4. memang candu punya efek menenangkan dan menghilangkan sakit, tapi kalau ketipu sih bukan sakit tapi malu.
Malu susah banget ngobatinya.. apalagi kalau temen dia (maksudnya aku) ketawa terus sepanjang jalan.

tapi ketawaku tidak berlangsung lama. malam itu aku kembali teringat Nina, entah kenapa. Apa ini cinta? aku kembali bertanya. kualihkan segera perhatianku pada teman temanku. malam itu aku kembali mengelilingi berbagai cafe, mencari teman temanku untuk hang out. just for fun. menghilangkan Nina dari pikiranku, yah.. biarpun aku tahu besok setelah bangun dengan kepala sakit dan tubuh kelelahan, bayangan Nina kembali akan memenuhi kepalaku.
ah, apakah ini Cinta?

kenapa tak indah, kenapa malah terasa menyengsarakan aku? inikah cinta? katanya cinta itu adalah mimpi indah, kenapa untukku lebih mirip mimpi buruk? inikah cinta?
dan selagi aku bertanya tanya, wajah Nina terus meresap kesetiap tetes daya hidupku.