Wednesday

cerita mawar

Matahari terus bersinar terik. Panasnya seperti mengikuti langkahku terus menerus, seperti setiap siang, yang kualami selama beratus-ratus satuan hari.
Kakiku sudah melepuh ditanah yang membara. Sang matahari hanya terus tertawa.
Tapi aku harus terus bergerak maju setiap waktu.

Ah ya, waktu....
Katanya waktu menyembuhkan segala luka. Tapi itu tak benar. Waktu tak menyembuhkannya. Waktu mengalahkan segalanya, dan lalu menghilangkannya. Melenyapkannya dari permukaan bumi dan dari ingatan penghuni zaman itu. Itu pula yang dilakukan sang waktu pada luka. Ia melenyapkannya dari ingatan, bukan menyembuhkannya...

Itu aku tahu. Waktu hanya menghancurkan dan menghilangkan, tidak menyembuhkan.
Sebab waktu berhati beku dan darahnya sedingin neraka. Ia tak peduli pada ratapan dan jeritan. Ia hanya berlalu menuju arah yang ditentukannya sendiri. Mungkin hanya matahari yang perkasa yang tak takut pada sang waktu.
Itu aku tahu.

Bahkan dalam keletihan akupun terpaksa terus berjalan, hanya karena waktu tak mau peduli padaku. Langkah-langkahku semakin lambat, tapi segera aku akan tiba di tujuanku. Sesuatu yang menekan dadaku semakin menyakitkan, dan waktu tak membantuku sama sekali.

Disana kutemui bunga yang kucari.
Setangkai mawar yang menjelang layu.
Berdiri dia setangkai mengayun ditengah hembusan angin. Matanya yang terpancang pada sang matahari tampak memantulkan cahaya. Sepertinya ada tetesan air disana.
Dia jelas tahu aku tiba di sisinya, karena aku menghalagi matahari dari wajahnya.
Tapi sang bunga yang menjelang layu tak berkata, bahkan ia tak merubah pandangannya.
Ia hanya menampakkan isaknya yang tadi disembunyikan.

Setangkai mawar yang menjelang layu, dan menangis berkata padaku, walau bukan untukku.
”duhai, masa mudaku telah berlalu, kini hidup menjadi penuh dengan kesedihan”
Matanya kemudian menatap ke arahku seolah mengharap jawaban, untuk kata-katanya yang bukan pertanyaan..
”ada apa gerangan, bungaku?”
”duhai kawan, aku merasa hidupku tak lagi berwarna. Tak adalagi kumbang yang menghampiri, tiada lagi keceriaan hari-hari. Aku terkurung dalam tugasku sebagai mahkota yang tak dipedulikannya.”
” Paling tidak kau pernah menjadi bunga yang benar-benar bunga
saat kuncup menjadi inspirasi para penyair,
dan saat mengembang menjadi incaran para pencinta,
ingatlah saat-saat itu..”


Aku nyaris berteriak; ’akulah satu diantara pencinta yang mengincarmu!’, tapi kutelan kata-kataku saat melihat duka mencuat di ujung-ujung daunnya.
Kenanganku pun mengembara, ke masa lalu yang begitu menorehkan kesan padaku. Sampai-sampai aku berusaha mencarinya dipenghujung waktuku.

Kelopaknya yang tertunduk melindungi putiknya yang sudah berisi bakal biji.
Kelopaknya benar-benar muram, seolah tak bersisa kemegahan sebuah bunga pujaan.
” kau mungkin tak merasakannya. Kumbang tak pernah tahu perasaan bunga yang ditinggalkannya.”
” itu tak adil wahai ratu bunga-bunga, dan kamu tahu itu. Kalian para bunga dikaruniai keindahan dan keharuman yang mampu menaklukan pikiran kupu-kupu,kumbang dan segala serangga yang beterbangan. Saat kami dalam pengaruh kalian, kesewenang-wenangan kalian pun bagai anugerah bagi kami..”
” ya, mungkin kau benar, tapi dimana segala keindahan itu? Dimana aroma ku yang memabukkan sekarang? Mereka semua pergi saat aku mulai menua..”
”semua ada masanya, mawarku...keindahan selalu berubah seiring waktu.”
”tapi kenapa tak bisa indah selalu? Kenapa segala yang cantik dan bahagia selalu berakhir?”
Aku menghela nafas, menyentuh kelopaknya yang sudah berwarna kusam. Seringan mungkin, mencoba menunjukkan kasih ku pada sang mawar.
” Mungkin keindahan tidak hilang...mereka selalu ada. Hanya saja keindahan terus berubah seiring masa.”
Sang bunga masih saja tertunduk. Tak ada suara darinya.
” Mungkin yang bisa kita lakukan hanyalah menerima, dan belajar menikmati keindahan tersebut dalam bentuk barunya.”
Sang bunga masih tertunduk. Masih tak ada suara.
” Bunga, aku ingin bertanya satu hal...”
Keheningan kembali hadir. Matahari mendadak memerah cahayanya, entah ia berduka atau malah menertawakan kami.
” Bunga, apakah itu aku? ”
Sang mawar menoleh. Kebingungan sebentar muncul dimatanya, sebelum pengertian memenuhi segenap auranya. Aku seperti melihat sekejap sebuah senyuman sombong di wajahnya. Hanya sekejap.

Bermenit-menit aku bermenung menemani sang bunga, berusaha mengertinya. Duduk disisi sebuah bunga selalu menyenangkan, seperti juga saat ini.
Bersentuhan dengan kelopaknya yang menjelang layu, tetap memberi sensasi luar biasa. Walau sang mawar tengah bersedih, dia tetaplah mawar. Ratu bunga yang menjadi lambang keindahan cinta bagi ratusan budaya.

” Bungaku, bicaralah.. ”
Angin amarah yang berhembus tiba-tiba membuat sang mawar melambaikan tangkainya. Warnanya yang pudar sejenak berpendar oleh sinar matahari di belakangnya. Sejenak aku merasakan hangat. Entah itu panasnya cahaya matahari yang menerobos serat-serat kelopaknya, atau panasnya amarah yang menggelegak.
” Bukan, ini bukan tentang kamu... tak usah khawatir. Ini tak pernah tentang kamu.”
Jawabannya melegakan seharusnya, karena dia tak menyalahkan aku.
Tapi cara ia menjawab membuatku merasa direndahkan..
“ jadi kau tak pernah peduli padaku? “
“ bukan itu, aku tak mau memberatimu. “
“ tak akan ada yang merasa keberatan..” tak sengaja aku menyentuhnya. Sekedar menenangkannya.
dan angin kembali bertiup mendadak.
” jangan berusaha menenangkanku... aku tak butuh ditenangkan!!derita ini terus mendekatiku.”
Tangkainya mengibas sekali lagi, dan segores luka menghiasi jemariku. Mengingatkanku, betapa indahnya setangkai mawar –betapapun lembut tampaknya- ia selalu mengusung serangkaian duri.
Duri tajam yang bisa menyakiti bahkan sepotong hati yang telah membatu.

Melihat cairan merah yang menghiasi jemariku, sang mawar merunduk. Daunnya yang bergerigi menangkup dalam permohonan sesal.
” duhai kawanku, maafkan aku...aku tak pernah bermaksud melukaimu.”
” mungkin itu pula yang akan dikatakan sang waktu jika ia bisa bicara padamu.”
Aku tersenyum padanya, berusaha mengurangi bebannya, tapi dalam hati aku berpikir; sungguh ironis mendengar kata-kata nya diucapkan, oleh sekuntum bunga yang selalu membawa durinya dimanapun dia berkembang.

” oh...betapa kejamnya sang waktu yang tak mau kutolak. oh betapa teganya sang kumbang yang tak mau lagi datang setelah aku layu. Oh betapa kejam dunia yang tak mau menyanjungku lagi..”
” kenapa mereka kau anggap kejam? ”
” karena mereka meninggalkanku setelah sempat peduli padaku. Padahal peduli mereka telah menjadi harapanku.”
” memangnya kau tak kejam pada mereka? Kau kembangkan helaian mahkota indah yang pesonanya tak akan mampu mereka tolak. Bergincu merah menyala, kau hamburkan aroma mu nan menggoda. Dan saat daya tarikmu tak mungkin lagi mereka tanggung, kau asah duri-durimu untuk menjauhkan mereka yang tak kau ingini. Padahal mereka datang hanya karena panggilanmu.. sekejam apakah itu? Memberi harapan dan merusaknya bahkan tanpa rasa peduli...”
Mawar terkejut mendengar kata-kataku yang menuduh. Matanya mendadak sayu.

” tapi itu hanya aku yang mencoba jadi diriku... aku memang seperti itu.. dilahirkan dan ditugasi melakukan itu...”
” pun mereka yang kau caci akan menjawab sama....”
Sang mawar menatapku. Mata kami bertemu dan ada cahaya disana.
Sang mawar pun menekuk kelopaknya malu, ia mengalihkan pandangan dan melanjutkan kediamannya. Kali ini tak ada isak yang terdengar.

Kupikir tiba saatnya aku menyampaikan pesanku, alasan aku mendatangi sang mawar.
” Mawarku, aku akan segera mati... mungkin ini terakhir kita berjumpa.”
Dan sang mawar hanya melenggok ringan. Meletakkan serabut daun hijaunya di jemariku. Kehangatan matahari yang semakin pudar terekayasa kembali di hatiku melalui sentuhan ringan itu.

Aku melanjutkan keheningan kami dan kembali menyentuh kelopaknya. Halus dan lunak. Masih sama memabukkannya seperti ketika ia muda dan mekar penuh gaya. Kini aku siap. Waktu boleh datang kapan saja, dan aku siap.

Kami bersama-sama duduk ditepian senja dan memandangi matahari yang tenggelam.
Kemudian aku sadari sesuatu, bahkan matahari pun terkalahkan oleh sang waktu.